CARA BERCINTA YANG BAIK MENURUT ISLAM
Seorang suami yang hendak bersetubuh (jima’) dengan istrinya dianjurkan untuk bercumbu dan didahului mencium kepala istrinya. Syeikh Ibnu Yaman mengatakan, apabila jima’ tidak didahului dengan bermain-main (bercumbu rayu), maka hal itu dapat menyebabkan percekcokan dan perselisihan. Bahkan bisa menyebabkan anak yang terlahir dalam keadaan bodoh dan lemah otaknya.
Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam Kitab An-Nashihah bahwa suami yang melakukan pemanasan (cumbu raya) akan mendapat pahala besar. Dari Sayyidah Aisyah radhiallahu ‘anha (RA) ia berkata, bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa memegang tangan istrinya kemudian ia merayunya, maka Allah tetapkan baginya satu kebaikan, dan Allah hapus baginya satu keburukan dan Allah angkat baginya satu derajat. Dan apabila ia memeluk istrinya, maka Allah tetapkan baginya sepuluh kebaikan, dan Allah hapus baginya sepuluh keburukan dan Allah angkat baginya sepuluh derajat.
Apabila ia mencium istrinya, maka Allah tetapkan baginya dua puluh kebaikan, dan Allah hapus baginya dua puluh keburukan dan Allah angkat baginya dua puluh drajat. Dan apabila ia menjima’ istrinya, maka hal itu lebih baik baginya daripada dunia beserta isinya”.
Rasulullah SAW juga bersabda:”Janganlah salah seorang dari kalian menjima’ istrinya sebagai mana jimaknya binatang. Akan tetapi hendaklah ada antara mereka berdua perantara, Maka Sahabat bertanya: “Apakah perantara itu wahai Rasulullah?’ Maka Nabi SAW berkata: “Berciuman dan rayuan”.
Di antara tata krama jima’ lainnya adalah dilakukan setelah perut terasa ringan dan tubuh benar-benar segar. Karena senggama dalam keadaan perut kenyang dapat menimbulkan rasa sakit, mengundang penyakit tulang, dan lain-lain. Karena itu, bagi orang yang ingin menjaga kesehatan, hal-hal seperti itu sebaiknya dihindari. Disebutkan, ada tiga perkara yang terkadang dapat mematikan seseorang, yaitu:
1. Bersetubuh dalam keadaan lapar.
2. Bersetubuh dalam keadaan sangat kenyang.
3. Bersetubuh setelah makan ikan dendeng kering.
Kemudian, syariat juga melarang melakukan jima’ ketika istri haid dan nifas serta sempitnya waktu salat fardu. Larangan berjima’ ketika istri sedang haid disebutkan dalam Al-Qur’an: “Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid, katakanlah bahwa darah haid itu adalah kotoran (najis) maka jauhilah para istri ketika haidnya.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Syeikh penazham menjelaskan, hendklah jima’ dihindari di malam-malam berikut:
1. Malam Idul Adha, karena ada keterangan yang mengatakan sesungguhnya jima’ di malam itu dapat menyebabkan anak terlahir dalam keadaan mempunyai sifat pembunuh.
2. Malam akhir dari setiap bulan, karena ada hadis Nabi SAW: “Janganlah berjima’ di awal dan pertengahan setiap bulan (Hijriyah).”
3. Imam Al-Ghozali berkata: “dimakruhkan jima’ di tiga malam dari setiap bulan, di awal, akhir dan pertengahan.”
Menurut suatu keterangan bahwa setan menghadiri orang yang jima’ di malam-malam tersebut. Wallahu A’lam Bisshowab. Tata krama lainnya, hendaklah jima’ dilakukan di tempat yang aman dari pendengaran seseorang.
Posisi Terbaik dalam Berjima’
Syeikh Penazham menjelaskan, sesungguhnya jima’ diperbolehkan dalam segala sifat (gaya) sebagaiman firman Allah Ta’ala: “Maka datangilah ladangmu (istri-istrimu) sekehendak kamu.” Namun, para ulama menganjurkan untuk menjauhi jima’ dalam keadaan berdiri.
Berkata Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA: “Istri itu laksana kendaraan suami, kapan saja suami boleh menaikinya. Akan tetapi sifat yang paling disukai adalah naik ke atas istri dengan perlahan dan lemah lembut”. Namun, dibolehkan dengan gaya yang lain, seperti dari arah belakang, yaitu tempat jadinya anak (farji), bukan dubur.
Di dalam satu hadis disebutkan, ada seorang perempuan menemui Nabi SAW kemudian bertanya: “Sesungguhnya suamiku menjima’ aku dari arah belakang, maka Nabi SAW berkata: “Tidak apa apa, apabila tetap di satu lubang (vagina).”
Sebagian orang-orang mengatakan, bahwa sifat/gaya jima dari arah belakang paling lezat dari gaya jima’ yang lain. Jima’ dihindari dalam keadaan berdiri, karena dapat membuat ginjal dan bersendian menjadi lemah. Begitu juga dalam keadaan duduk, dapat memyebabkan sakit ginjal, perut dan urat, dan juga dapat mempercepat timbulnya luka baru. Sedangkan dalam keadaan miring dapat membahayakan pantat (bokong). Selain itu, hendaklah dihindari posisi istri di atas suami, karena hal itu dapat menyebabkan sakitnya saluran kencing dan buah zakar.
Dalam Kitab An-Nasihah dijelaskan bahwa jima’ dalam keadaan miring dapat menyebabkan lemah dan sakitnya salah satu pinggang dan mempersulit keluarnya air mani. Dalam Syarah Al-Waqhlisiyah dijelaskan: “Janganlah suami menjima’ istrinya dalam keadaan duduk, karena hal itu akan mempersulit sang istri. Begitu juga dalam keadaan miring, karena hal itu dapat membuat salah satu pinggang menjadi lemah. Begitu juga jangan berjima’ dalam keadaan istri di atas suami dapat mempersulit kehamilan.
Syeikh Ibnu Yamun mengatakan, posisi paling baik dalam berjima’ adalah istri dalam keadaan terlentang dengan mengangkat (meninggikan) kedua kakinya. Karena gaya seperti itu adalah gaya bercinta yang paling baik. Ibnu Yamun juga berkata: “Hindarilah memandang farji (kemaluan) masing-masing serta bercakap-cakap
ketika jima”.
Adapaun jima’ melalui dubur itu dilarang dalam syariat, dan orang yang melakukannya akan dilaknat. Kemudian, diharamkan bagi suami menjima’ istrinya sambil menghayalkan perempuan lain, karena yang demikian itu sama halnya dengan zina.
Setelah selesai berjima’, suami istri disunnahkan mencuci kemaluannya dan berwudhu ketika hendak tidur. Alangkah baiknya jika sanggup untuk mandi besar terlebih dahulu, karena mandi besar setelah jima’ dapat membuat tubuh segar dan suci dari hadas besar.(*Fir)