CERITA BUMIJAWA TEGAL, DARI KERAJAAN GALUH PURBA HINGGA TUK JIMAT

Bumijawa merupakan salah satu nama kecamatan di Kabupaten Tegal, terletak paling selatan. Daerah ini dikenal dengan udaranya yang dingin serta tanahnya yang subur.
Itu mengingat letaknya berada di kaki Gunung Slamet. Tidak ada catatan pasti mengenai asal usulnya, tetapi yang jelas Bumijawa ini awalnya nama desa, kemudian digunakan juga sebagai nama kawedanan dan kecamatan.

Jadi dulu sebelum tahun 1963 ada namanya Kawedanan Bumijawa, di mana Kawedanan Bumijawa ini membawahi 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Bumijawa, Kecamatan Bojong, dan Kecamatan Jejeg. Kecamatan Bumijawa dibagi menjadi 18 desa, dengan ibu kota kecamatan yaitu Desa Bumijawa.
Salah satu dari 18 desa yang berada di Kecamatan Bumijawa adalah Desa Guci. Di desa ini terdapat objek wisata yang dikenal hingga kancah nasional, sekaligus menjadi kebanggaan masyarakat Kabupaten Tegal, yaitu Objek Wisata Pemandian Air Panas Guci.
Bumijawa, pusarnya Pulau Jawa jika dilihat dari etimologi, berasal dari dua kata Bumi dan Jawa. Dalam Bahasa Sansekerta, kata Bumi berasal dari kata Bhumi yang berarti tanah, sementara Jawa menunjukan pulau Jawa.
Sehingga bisa diartikan Bumijawa memiliki makna Tanah Jawa. Para orang tua dulu mengatakan mengatakan bahwa Bumijawa merupakan puser (pusatnya) tanah Jawa.
Ya, memang jika dilihat dari peta, Bumijawa letaknya berada di tengah Pulau Jawa. Apa lagi Bumijawa berada di kaki Gunung Slamet, gunung yang dikelilingi oleh lima kabupaten, yaitu Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Purbalingga, dan Kabupaten Banyumas.
Kita pasti pernah mendengar bahwa gunung berfungsi sebagai pakunya bumi. Dalam ramalan Jayabaya, jika Gunung Slamet meletus maka Pulau Jawa akan terbelah menjadi dua.
Nah, masyarakat sekitar Gunung Slamet percaya, seperti namanya Gunung Slamet tidak akan pernah meletus, meletusnya nanti di hari kiamat.
Kerajaan Galuh Purba
Kerajaan Galuh Purba Menurut Van Der Meulen dalam catatannya, bahwa pada abad ke 1 masehi, berdiri Kerajaan Galuh Purba di kaki Gunung Slamet, di mana wilayah Bumijawa masuk di dalamnya.
Pendiri Kerajaan Galuh Purba merupakan pendatang yang berasal dari Kutai, Kalimantan Timur, pada zaman pra Hindu atau sebelum terbentuknya Kerajaan Kutai Kartanegara.
Mereka masuk melalui Cirebon, lalu berpencar di pedalaman dan mengembangkan peradaban di sekitar Gunung Cermai, Gunung Slamet, dan Lembah Sungai Serayu. Mereka yang menetap di sekitar Gunung Ciremai mengembangkan peradaban Sunda.
Sedangkan yang berada di Gunung Slamet berinteraksi dengan penduduk setempat, kemudian mendirikan Kerajaan Galuh Purba. Kerajaan tersebut tumbuh dan berkembang menjadi kerajaan yang besar dan disegani.
Menurut Van der Meulen, hingga abad ke-6 M wilayah kekuasaan Kerajaan Galuh cukup luas meliputi daerah Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Kedu, Kulonprogo dan Purwodadi.
Kerajaan Galuh Purba inilah yang kemudian menurunkan raja-raja Jawa. Keberadaan kerajaan tersebut di Bumijawa dibuktikan dengan adanya penemuan sisa-sisa candi yang tersebar di Kecamatan Bumijawa, salah satunya Candi Dandang. Lokasinya berada di Dukuh Bandarsari, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal.
Tuk Jimat
Pada tulisan ini saya akan membahas berkaitan dengan Tuk Jimat, dikenal juga dengan nama Sumber Mata Air Bulakan, terletak di Desa Bumijawa, Kabupaten Tegal.
Di Tuk Jimat juga terdapat bangunan Belanda menaunginya, sebagai bukti bahwa Belanda juga dulu memanfaatkan sumber mata air tersebut.
Nah, seperti halnya dataran tinggi lainnya, vegetasi pohon di sekeliling Tuk Jimat juga lebat. Tuk Jimat erat kaitannya dengan Sunan Mayakerti, dikenal juga dengan nama Mbah Camuluk, Mbah Mayakerti.
Ia berasal dari Cirebon dan masih memiliki kekerabatan dengan Sunan Gunung Jati, lalu datang ke Bumijawa untuk menyebarkan Islam. Sunan Mayakerti juga masih memiliki kaitan dengan Pendiri Tegal, Ki Gede Sebayu.
Jadi Ki Gede Sebayu hijrah dari Pajang ke Tegal tidak seorang diri, ia juga ditemani sahabatnya.
Sahabatnya inilah yang membantu Ki Gede Sebayu dalam mengatur perairan yang ada di Tegal, di antaranya Mbah Jigja ditugaskan untuk mengatur perairan di daerah yang sekarang bernama Desa Jejeg, Mbah Mayakerti ditugaskan untuk mengatur perairan di daerah yang sekarang bernama Desa Bumijawa.
Diceritakan saat itu Bumijawa masih mengandalkan pertanian dari air hujan, sementara itu sedang musim kemarau. Mbah Mayakerti sedang mencari kayu, ketika sedang mencari kayu itulah ia melihat Burung Kuntul atau Burung Bangau terbang mengitari sebuah tempat.
Mbah Mayakerti paham bahwa hal tersebut merupakan sebuah tanda bahwa di tempat tersebut terdapat air. Lalu Mbah Mayakerti menghampiri tempat yang dikitari oleh burung bangau.
Sesampainya di tempat tersebut ia melihat burung bangau itu sedang mematuk sebuah benda di atas tanah, lalu bangau itu terbang. Setelah lebih dekat ternyata benda tersebut adalah kenong atau bende, lalu benda tersebut diangkat, dan munculah sumber mata air yang deras dan bersih.
Itulah cerita yang hampir semua masyarakat Bumijawa pasti mengetahui cerita tersebut. Kejadian tersebut terjadi tanggal 11 Rabiul Awal.
Sehingga, setiap tanggal 11 Rabiul Awal masyarakat Desa Bumijawa menggelar Tradisi Jamasan, mencuci senjata pusaka milik Sunan Mayakerti, di antaranya kenong atau bende itu tadi.
Malam harinya dilanjut dengan arak-arakan atau pawai, sekaligus memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW. Tradisi tersebut rutin dilakukan setiap tahunnya.
Lalu Tuk Jimat terus mengalir hingga sekarang, tidak pernah kering sekalipun itu musim kemarau. Airnya yang segar dan bersih terus mengalir dan memberikan kebermanfaatan bukan hanya kepada masyarakat Bumijawa, tetapi kepada masyarakat daerah lain.(*/Tian)