Asal Usul

KABUYUTAN CIBURUY, BUKTI ADANYA PERADABAN SUNDA KUNO

visit indonesia

Beruntunglah masyarakat Jawa Barat yang dikenal dengan sebutan ‘Urang Sunda’ dengan adanya dua warga Belanda, Karel Frederick Holle dan Cornelis Marinus Pleyte yang menaruh perhatian besar pada kebudayaan Sunda abad lalu.

&80 x 90 Image

Melalui sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Seni yang berdiri di era kolonial tahun 1776 (sumber, Edi S Ekadjati), bahwa organisasi Bataviasch Genootschap Van Kunsten En Wetenschapen, mengumpulkan benda-benda seni, sejarah dan sastra yang kini tersimpan di Museum Nasional Jakarta.

Melalui dua orang Belanda itulah sejumlah naskah sunda kuno yang ditulis di daun lontar dan nipah dapat diselamatkan. Salah satunya, naskah kuno Kabuyutan Ciburuy di Desa Pamalayan Kecamatan Bayongbong Kabupaten Garut yang ditemukan KF Holle tahun 1864 dan dilaporkan ke Pemerintah Hindia Belanda tahun 1867 bahwa di Kaki Gunung Cikuray Kampung Ciburuy Kabupaten Garut terdapat sejumlah naskah kuno berhurup sunda kuno.

Naskah itu oleh para peneliti Sunadanologi yang antara lain Edi S Ekadjati dan Saleh Danasasmita dibagi tiga bagian. Antara lain Sang Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian dan Amanat Galunggung.

Melalui perjalanan yang begitu melelahkan beberapa waktu lalu, dengan tanjakan begitu panjang dan sempitnya jalan, penulis tiba juga setelah menempuh perjalanan hampir satu jam dari pusat Kota Garut. Wajar, lokasi Kampung Ciburuy memang terletak di kaki Gunung Cikuray yang dikenal sebagi gunungnya para pendaki pemula.

Tiba di lokasi, pengunjung yang membawa roda dua atau empat disediakan lahan parkir khusus. Lalu berjalan kaki menurun sekira 20 meteran. Sebuah kampung dengan 900 Kepala Keluarga berdampingan, menyeret letak Kabuyutan Ciburuy yang mulai ramai oleh aktivitas manusia.

Juru rawat Kabuyutan Ciburuy, Ujang Suryana (33), langsung menyambut. Ia mengajak siapapun tamu yang kesana untuk masuk ke suatu rumah yang disebut Rumah Adat Patamon.

“Tos janten kawajiban ka saha wae nu kadieu kedah diangkir ka ieu bumi (Sudah kewajiban siapapun yang datang ke sini harus masuk ke rumah ini),” kata Ujang.

Rumah bilik bercorak sunda buhun itu begitu asri. Di sampingnya terdapat leuit sebagai tempat menyimpan hasil berkebun, bertani dan berladang, yang di depannya juga terdapat sebuah saung yang dikhususkan sebagai tempat mengolah hasil tanaman.

Ujang pun menceritakan bahwa dia juru rawat ke-149 dari ayahnya Engkon (alm). Ia diamanati merawat segala peninggalan sejak tahun 1994 melalui upacara adat khusus tata cara pemeliharaan.

Mengenai jenis peninggalan bukan hanya pekakas jaman dulu (kujang, golok, tumbak, pisau dan batu pangsujudan) serta naskah kuno, tetapi ada peninggalan alam berupa tanah seluas 1,5 hektare dengan aneka pepohonan di dalamnya. Bambu dan kayu menjadi warisan leluhur juga karena tidak sembarangan orang memotong segala jenis pepohonan di sana.

Di lokasi yang disebut Tanah Kabuyutan, sudah dipagari bambu. Tidak sembarangan orang bisa masuk karena memiliki jadwal tertentu. Setiap hari Selasa dan Jum’at tidak diperkenankan. Termasuk tidak adanya makam sehingga berkunjung ke Ciburuy bukan untuk berziarah.

Meski demikian, hamparan batu yang dikenal sebagai tempat pangsujudan itu kerap diambil berkah karena di batu itulah seorang penyebar agama Islam, Eyang Haji Mustofa bermunajat di sini.

“Termasuk Sri Baduga Siliwangi dan putranya Kian Santang,” kata Ujang.

Sayangnya, segala jenis peninggalan Kabuyutan itu tidak bisa dilihat secara langsung. Selain karena bukan hari yang diperbolehkan karena penulis berkunjung hari Minggu, juga ada upacara khusus kalau mengeluarkan setiap barang yang dianggap pusakanya orang Sunda.

Menurut Ujang, Ciburuy dulu dan sekarang memang berbeda. Rumah saung sudah direkonstruksi sejak tahun 1982 saat Menteri Kebudayaannya, Hartati Sudibyo.

Kemudian mendapat perhatian khusus dari Balai Cagar Budaya, termasuk masih tersimpannya imbauan larangan merusak atau mengambil segala yang ada dari Kapolwil Priangan kala itu, Anton Charlian.

Tempat Menyatukan Pandangan Hidup Raja-raja Sunda
Membicarakan Kabuyutan Ciburuy tak akan lepas juga dari naskah kuno berhurup sunda kuno yang berisi pandangan hidup kala itu. Tak dipungkiri kalau mendengar penjelasan Juru Rawat Ciburuy, Ujang Suryana, bahwa Ciburuy sebagai tempat berkumpulnya raja-raja sunda yang antara lain Eyang Syeh Haji Wali Mustofa, Sri Baduga Prabu Siliwangi, Panglima Lodaya dan Ali Murtado.

Untuk Eyang Syeh Haji Wali Mustofa, disebut penghuni pertama kampung tersebut dan menjadi rujukan para raja sunda dalam memusyawarahkan masalah negara, bangsa dan agama. Mereka di Ciburuy saling bertukar pikiran, saling memperdalam keilmuan menyangkut keagamaan.

Meski demikian, berdasar pengakuan Ujang, pemegang Naskah Kuno Sunda itu Eyang Haji Wali Mustofa yang ketika dikunjungi Sri Baduga Prabu Siliwangi saling belajar, saling mengetahui isi naskah tersebut.

Ada kesamaan kisah dengan sosok legenda Situ Panjalu Ciamis dan Kabuyutan Ciburuy mengenai sosok Ali Murtado. Kian Santang bertemu Ali di Ciburuy yang kemudian bertengkar.

Begitupun di Panjalu dengan sosok Boros Ngoranya yang sama-sama beguru pada Ali dan masuk Islam setelah kalah dalam pertempuran. Namun, terlepas adanya kesamaan cerita tersebut, Ujang meyakinkan bahwa Kabuyutan Ciburuy merupakan kabuyutan tertua di Jawa Barat yang menaungi 99 kabuyutan lain yang tersebar di Tatar Pasundan.

Naskah Kuno Itu Tentang Pedoman Moral
Menarik memang ketika sudah mengetahui isi naskah kuno dengan hurup sunda buhun di Kabuyutan Ciburuy Kabupaten Garut ini. Masing-masing naskah berbeda masa, tahun penulisan termasuk siapa yang menulis dan jumlah halaman.

Meski demikian, mengutip buku transkripsi dan terjemahan yang dikeluarkan Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Dirjen Kebudayaan Departemen Pendididikan dan Kebudyaan Bandung Tahun 1987, naskah kuno tersebut yang antara lain Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian dan Amanat Galunggung ini memberi gambaran pedoman moral untuk kehidupan bermasyarakat pada masa itu.

Misal naskah dengan Kropak Nomor 408 yang disebut Sewaka Darma (sekarang disimpan di Musieum Nasional Jakarta) berjumlah 74 halaman. Pada label tertulis kata “sewaka” yang setelah diteliti isinya ternyata nama ajaran yang tersurat dengan sebutan “Sewaka Darma”. Sewaka berarti pengabdian atau kebaktian, dan Darma artinya kewajiban, aturan atau kebenaran.

Pengarangnya adalah seorang perempuan petapa di Gunung Kumbang. Dan pengerjaan penulisan naskah ini dilakukan disebuah kota yang diprediksi wilayah Priangan Timur.

Bentuk hurufnya pun mirip dengan naskah Carita Ratu Pakuan yang kemungkinan ditulis pada abad 18 berdasar perbandingan dengan naskah Carita Waruga Guru yang ditulis di kertas daluang.

Isi naskah sebagai bukti pernah berkembangnya aliran Tantrayana di Jawa Barat silam yang menampilkan campuran aliran Siwa Sidhanta atau Siwaisme-Budhisme bahwa kebahagiaan sejati akan tiba kalau Suka tanpa duka, kenyang tanpa lapar, hidup tanpa mati, bahagia tanpa derita, baik tanpa buruk, pasti tanpa kebetulan dan siang tanpa malam. Hening tanpa suara, hampa tanpa wujud, lembut tanpa jasad dan sarwa tunggal wisesa.

Kemudian Naskah Kropak 603 yang disebut Sanghyang Siksakandang Karesian yang penggarapannya tidak berdasar naskah asli melainkan berdasar alih aksara. Naskah ini akan merupakan salah satu tonggak untuk menyelami situasi budaya masa silam sekira abad 16.

Isi naskah sebagian besarnya ditujukan kepada kelompok yang bukan resi, terutama dalam pelaksanaan tugas rakyat bagi kepentingan raja. Siksakandang Karesian dapat diartikan sebagai bagian aturan atau ajaran tentang hidup arif berdasarkan darma (aturan, kebenaran).

Naskah ini pun memiliki identitas penulisnya yaitu ditulis pada masa Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi penguasa Padjadjaran tahun 1482-1521 Masehi.

Terakhir naskah Kropak 632 berjumlah 13 halaman yang telah disimpan di Musium Nasional Jakarta. Naskah ini dikumpulkan oleh Dr. J.L.A. Brandes seorang cendikiawan Belanda. Tetapi untuk penelitian oleh KH Holle dan C.M Pleyte dan Raden Ngabehi Poerbatjaraka.

Pada mulanya C.M. Pleyte mengira naskah ini sebuah kronik atau kisah sejarah. Namun ternyata bukan karena ia menyangka naskah yang dinamai Amanat Galunggung itu sebagai naskah silsilah riwayat.

Ia tadinya berharap naskah tersebut naskah riwayat raja-raja sunda dan padjadjaran. Yang dalam kenyataannya berisi ajaran hidup yang diwujudkan dalam bentuk nasihat-nasihat dari Rakeyan Darma Siksa kepada putranya Sang Lumahung Taman beserti keturunannya yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta.

Rakeyan Darma Siksa adalah seorang Raja Sunda yang memerintah tahun 1175-1297 Masehi yang pada awalnya berkedudukan di Saung Galah tapi pindah ke Pakuan.

Karena Saung Galah berlokasi di wilayah Gunung Galunggung Kabupaten Tasikmalaya, maka peneliti sundanologi, Saleh Danasasmita menamakan naskah tersebut dengan sebutan Amanat Galunggung sesuai dengan apa yang tercantum dalam isi naskah.

“Jangan Bentrok karena berselisih maksud. Jangan saling berkeras, hendaknya rukun dalam tingkah laku dan tujuan. Ikuti jangan keras pada keinginan diri sendiri saja. Camkanlah ujar Patikrama (Adat kebiasaan, tradisi) bila kita ingin menang perang, tidak akan kalah oleh musuh yang banyak, musuh dari darat, laut, barat dan timur, atau dari musuh halus dan kasar, demikian salah satu bait Amanat Galunggung.(*/Dan)

Loading...