Asal Usul

KH AHMAD DAHLAN TAK MEWARISKAN BUKU ATAU KARYA TULIS

visit indonesia

Sang pendiri Muhammadiyah tidak mewariskan buku atau karya tulis.
KH Ahmad Dahlan (1868-1923) merupakan seorang ulama besar dan sekaligus pahlawan nasional Indonesia. Ia dikenang terutama sebagai pendiri Persyarikatan Muhammadiyah. Melalui gerakan Islam tersebut, tokoh kelahiran Yogyakarta ini menggencarkan syiar amar ma’ruf nahi munkar.

&80 x 90 Image

Agak berbeda dengan tokoh-tokoh sezamannya, Kiai Dahlan tidak menghasilkan suatu karya tulis. Perintis Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari, misalnya, menulis beberapa kitab, yakni antara lain Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, Dhou’ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah, dan Risalah Ahlis Sunnah Wal Jama’ah.

Maka, beberapa peneliti menanyakan, apa yang menyebabkan Kiai Dahlan tampaknya kurang menekuni dunia dakwah tulisan? Menurut sejarawan UGM Prof Kuntowijoyo, hal itu disebabkan karateristik dari ulama berjulukan “sang pencerah” tersebut.

Seperti dikutip dari buku Sejarah Taman Pustaka Muhammadiyah, Kuntowijoyo mengatakan, dorongan terbesar KH Ahmad Dahlan bukanlah menjadi man of thought, tetapi man of action. Hal itu tecermin dari konsistensinya mengajarkan murid-murid untuk berbuat dengan menerapkan pesan-pesan Alquran.

Sebagai contoh, kebiasaan Kiai Ahmad Dahlan yang mengulang-ulang pelajaran tentang Alquran surah al-Ma’un kepada para santrinya. Bahkan, tema tentang al-Ma’un seakan-akan wajib ada dalam setiap pengajian Muhammadiyah, baik semasa sang kiai hidup maupun sampai kini.

Surah tersebut, secara garis besar, memuat peringatan keras dari Allah kepada orang-orang yang mendustakan agama. Siapakah para pendusta agama itu? Mereka adalah “orang yang menghardik anak yatim” dan “yang tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” Allah juga memperingatkan orang-orang yang shalat, tetapi mereka lalai dalam shalatnya. Begitu pula dengan orang-orang yang beribadah dengan niat ingin menuai pujian dari manusia serta enggan memberikan bantuan.

Karena terus-menerus menerima pelajaran tentang surah al-Ma’un, sejumlah santri Kiai Dahlan pun merasa bosan. Akhirnya, seorang murid memberanikan diri untuk bertanya, “Wahai Pak Kiai, mengapa kita diajarkan terus menerus tentang surah ini (al-Ma’un)? Apakah Pak Kiai sendiri tidak bosa mengajarkannya?”

Alumnus Haramain itu lalu menjawab, “Sudahkah kamu mempraktikkan isi surah ini?”

Jawaban itu mengisyaratkan pandangan Kiai Dahlan tentang pentingnya berbuat mengamalkan konsep-konsep atau ajaran agama, alih-alih sekadar menghafalkannya. Dan, ulama “sang pencerah” ini juga tak cuma berbicara tanpa memberikan contoh melalui perbuatan.

Berdirinya Muhammadiyah didasari semangat untuk mengamalkan pesan-pesan Alquran, khususnya surah al-Ma’un. Dari tahun ke tahun, dekade ke dekade, gerakan Islam ini pun terus berkembang untuk mewujudkan amal nyata.

Dari Muhammadiyah, lahirlah banyak rumah sakit, panti asuhan, sekolah, universitas, masjid, dan banyak lagi bangunan atau lembaga yang berfaedah di tengah masyarakat–Muslim maupun non-Muslim. Dengan bermuhammadiyah, seseorang minimal berupaya untuk tidak menjadi seorang “pendusta agama”, sebagaimana yang dijelaskan dalam surah al-Ma’un.

Tokoh literasi

Walaupun tak mempunyai legasi berupa karya-karya tulis, KH Ahmad Dahlan tidak berarti menjauhi dunia literasi. Sebaliknya, suami Siti Walidah ini gemar membaca banyak buku sejak usianya masih kanak-kanak. Kegemaran itulah yang menjadikan dirinya mudah menyerap ilmu dan bersemangat tinggi untuk belajar agama Islam, bahkan sampai merantau ke Tanah Suci.

Di sepanjang hayatnya, Kiai Ahmad Dahlan telah dua kali berhaji dan mukim di Makkah. Bertahun-tahun lamanya, ia menimba ilmu-ilmu agama dengan belajar kepada para syekh setempat. Ia juga menyerap berbagai pemikiran yang berkembang saat itu di dunia, semisal modernisme Islam. Maka, pandangan-dunianya pun bukan hanya islami, melainkan juga kosmopolitan.

Ia membaca banyak sumber. Di antara karya-karya yang menginspirasi Kiai Dahlan adalah Risalah Tauhid-nya Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar buatan Abduh dan Rasyid Ridha, Dairatul Ma’arif-nya Farid Wajdi, serta sejumlah buku legasi Imam al-Bukhari. Bacaan yang banyak menjadikan dirinya berwawasan luas dan teguh dalam upaya menghadirkan perubahan di tengah masyarakat.

Agaknya, kecenderungan KH Ahmad Dahlan sebagai tokoh yang tidak mewariskan karya tulis mirip dengan filsuf Yunani Kuno, Sokrates. Guru Plato itu menghasilkan dan mengajarkan gagasan-gagasan yang kontemplatif serta mencerahkan. Semua pemikirannya sampai kepada generasi-generasi selanjutnya karena ditulis oleh para muridnya. Dari Plato, para pembaca–bahkan yang dari era modern–dapat menelaah dan memahami jalan pikiran Sokrates.

Adapun dalam kasus sang pendiri Muhammadiyah, terdapat peran Raden Hadjid. Dialah sang pencatat ajaran KH Ahmad Dahlan. Beberapa catatannya terhimpun dalam antara lain dua buku, yakni Falsafah Peladjaran KH Ahmad Dahlan serta Adjaran KH A Dahlan dengan 17 Kelompok Ayat-ayat al-Qur’an.(*/Dan)

Loading...