SEJARAH KESEPUHAN CIPTAGELAR SUKABUMI
KAMPUNG Sinaresmi Ciptagelar Cisolok SukabumiSecara administratif, Kampung Ciptagelar berada di wilayah Kampung Sukamulya Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Jarak Kampung Ciptagelar dari Desa Sirnaresmi 14 Km, dari kota kecamatan 27 Km, dari pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi 103 Km dan dari Bandung 203 Km ke arah Barat. Kampung Ciptagelar dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat (mobil) dan roda dua (motor). Jenis kendaraan roda empat harus mempunyai persyaratan khusus, yakni mempunyai ketinggian badan cukup tinggi di atas tanah serta dalam kondisi prima. Apabila tidak mempunyai persyaratan yang dimaksud kecil kemungkinan kendaraan tersebut sampai ke lokasi.
Dan umumnya mobil-mobil demikian hanya sampai di kantor Desa Sirnaresmi yang sekaligus merupakan tempat parkirnya. Selebihnya menggunakan kendaraan ojeg atau mobil umum (jenis jeep) yang hanya ada sewaktu-waktu atau jalan kaki. Secara Singkat Sejarah dan letak geografis Desa Ciptagelar adalah sebagai berikut :
a. Letak geografis
Jawa Barat terkenal dengan alam pegunungannya yang indah dan sejuk. Selain itu Jawa Barat juga terkenal dengan banyaknya desa adat yang salah satunya dalah desa adat Ciptagelar (Kampung Ciptagelar, Desa Sirna Rasa, Kecamatan Cisolok, Sukabumi) yang terletak di lereng bukit selatan Gunung Halimun dan Taman Nasional Gunung Halimun. Kampung Ciptagelar yang luasnya hanya sekitar empat hektar dengan yang jaraknya sekitar 44 kilometer dari Pelabuhan Ratu ke arah Cisolok, atau sekitar 200 km dari Jakarta, persis di berbatasan dengan tapal batas kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Untuk mencapai kampung itu para pendatang harus melalui jalan tanah berbatu kasar sepanjang sekitar 14 kilometer, dengan jalan menurun dan menanjak yang sangat tajam dari lereng satu ke lereng yang lain di Gunung Halimun.
b. Sejarah Desa Ciptagelar
Dalam bahasa Sunda, kata kasepuhan mengacu pada golongan masyarakat yang masih hidup dan bertingkah-laku sesuai dengan aturan adat istiadat lama. Masyarakat Kampung Ciptagelar menyebut diri sebagai kaum Kasepuhan Pancer Pangawinan, serta merasa kelompoknya sebagai keturunan Prabu Siliwangi. Perihal nama Pacer Pangawinan, berasal dari kata pancer yang bearti asal-usul atau sumber. Sementara kata pangawinan berasal dari kata ngawin, yang artinya “membawa tombak saat upacara perkawinan”. Tetapi, kata “pangawinan” dalam konteks ini, mungkin bersangkut paut dengan “bareusan pangawinan“, barisan tombak, pasukan khusus Kerajaan Sunda yang bersenjata tombak. (Kusnaka Adimihardja, 1992).
Bukti sejarah
Sejauh ini bukti sejarah, menurut Djuanda, memang masih banyak pihak yang meragukan keberadaan warga desa Cipagelar tersebut memiliki hubungan erat dengan Raja Pajajaran Prabu Siliwangi. Tapi, jika melihat fakta situs yang diduga kuat peninggalan Kerajaan Pajajaran yang berada di sekitar desa tersebut tepatnya di kampung Pangguyangan rasanya itu bisa dipercaya. Apalagi, di sekitar situs tersebut tumbuh pohon hanjuang (pajajaran). Situs yang ditemukan di perkampungan tersebut, katanya, dilihat dari ilmu arkeologi diyakini tempat pemujaan animis. Di sana, terdapat situs megalitik, batu jolang (tempat pemandian), salak datar, tugu gede, cungkuk, batu kursi dan batu dakon (alat perhitungan tanggal/ilmu bintang).
Perkampungan tersebut, papar Djuanda, menurut cerita legenda merupakan salah satu tempat pelarian keturunan dan pengikuti Kerajaan Pajajaran. Sekitar tahun 1300, saat Prabu Siliwangi dan pengikutnya dikejar-kejar Kerajaan Mataram dari Banten mencoba melarikan diri ke Pulau Christmas (Australia) lewat Pantai Tegal Buleud, Kabupaten Sukabumi. Tapi itu gagal dilakukan Prabu Siliwangi dan pengikutnya, karena ombak Samudra Hindia saat itu sedang pasang. Tanpa memikir panjang, Prabu Siliwangi meminta pada keturunan dan pengikutnya untuk mencari jalan masing-masing untuk menyelamatkan diri dari kejaran Kerajaan Mataram.
Dari sekian banyak pengikut dan keturunan Prabu Siliwangi, mereka akhirnya berpencar. Sebagian di antaranya, cerita Djuanda, melarikan diri ke Urug ( Bogor ) dan sebagian lagi lari ke Citorek (Banten), Sirna Rasa dan Ciganas (Sukabumi). Sedangkan, Prabu Siliwangi sendiri lari ke arah utara pantai Tegal Buleud.
Berdirinya desa Cipta Gelar tidak terlepas dari yang sifatnya mitos dan tradisi yang melekat pada penduduk tradisional sebagaimana mestinya. Penduduk desa Cipata Gelar merupakan penduduk pindahan dari desa Ciptarasa. Perpindahan ini di dahului oleh sebuah mimpi atau wangsit yang diterima oleh Abah Anom yang meyuruh pindah, maka tepatnya bulan Juli 2001, Abah Anom bersama belasan baris kolot (pembantu sesepuh girang) menjalankan wangsit tersebut. Beberapa rumah baris kolot beserta seluruh isinya ikut dibawa pindah. Lokasi baru tempat tinggal Abah Anom beserta baris kolot-nya bukan daerah yang baru dibuka. Abah Anom pindah ke tempat yang telah ada penduduknya dan kampungnya bernama Sukamulya. Oleh Abah Anom kemudian diganti menjadi Ciptagelar.
Abah Anom atau yang bernama asli Bapak Encup Sucipta sebagai puncak pimpinan kampung adat memberi nama Ciptagelar sebagai tempat pindahnya yang baru. Arti dari kata Ciptagelar sendiri artinya terbuka atau pasrah. Kepindahan Kampung Ciptarasa ke kampung Ciptagelar lebih disebabkan karena “perintah leluhur” yang disebut wangsit. Wangsit ini diperoleh atau diterima oleh Abah Anom setelah melalui proses ritual beliau yang hasilnya tidak boleh tidak, mesti dilakukan. Oleh karena itulah kepindahan kampung adat bagi warga Ciptagelar merupakan bentuk kesetiaan dan kepatuhan kepada leluhurnya.
Kebudayaan desa Ciptagelar
Adat kasepuhan CiptagelarSeperti yang telah dijelaskan diatas bahwa kebudayan merupakan hasil dari manusia. Sedangkan menurut Konjaraningrat kebudayaan adalah “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa. Kebudayan menurut J.J Honigmann dibedakan atas gejala-gejalanya yang terdiri dari
Wujud kebudayan yang terdiri dari ide, gagasan, norma-norma dan sebagainya.
Kebudayan sebagai aktivitas tindakan manusia yang terpola
Wujud kebudayaan yang merupakan hasil dari karyanya.
Secara umum kebudayaan memiliki kesamaan di dunia ini, maka untuk itu Konjaraningrat membagi kebudayaan kedalam tujuh unsur. Yaitu bahasa, sistem pengetahuan, Organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencarian hidup, sistem religi dan kesenian. Dari ketujuah unsur kebudayan yang dikemukakan oleh Koenjaraningrat ini kami mencoba melihat kebudayaan yang muncul dalam sebuah masyarakat desa Cipta Gelar.
Bahasa
Bahasa merupakan alat komunikasi manusia baik secara lisan maupun tulisan, untuk berkomunikasi satu sama lain. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan komunikasi satu sama-lain, ini merupakan salah satu bukti perbedaan manusia dengan makluk lainya dan manusia dianggap merupakan makhluk yang diciptakan tuhan dengan sempurna. Bahasa yang digunakan di dunia ini sangat bermacam-macam, bahkan di Indonesia sendiri bahasa sangat banyak sekali yang merupakan hasil dari daya kreasi manusia yang menggunakannya. Jawa Barat merupakan suatu wilayah yang kebanyakannya mengunakan bahasa sunda tidak terkecuali di Desa Ciptagelar sebagai salah satu desa yang terdapat di tatar Pasundan mereka dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa resminya sebagai alat komunikasi.
Dalam Masyarakat Perkampungan Ciptagelar Kabupaten Sukabumi, Sebagian besar menggunakan Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari–hari, Bahasa Sunda merupakan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda dalam berbagai keperluan komunikasi dalam kehidupan mereka. Tidak diketahui kapan bahasa ini lahir, tetapi dari bukti tertulis yang merupakan keterangan tertua, berbentuk prasasti berasal dari abad ke-14. Dapat dipastikan bahwa Bahasa Sunda telah digunakan secara lisan oleh masyarakat Sunda jauh sebelum masa itu.
Sistem Pendidikan dan Pengetahuan
Masuknya peralatan modern ke desa Ciptagelar tidak menghilangkan tradisi lama nenek moyak mereka terutama dalam bidang pengetahuan bertaninya, mereka dalam menanam padi tetep memegang amanah tradisi leluhur tanpa obat-obatan kimiawi dan selalu berhasil panen setiap tahun, dengan memberikan kesempatan untuk bernapas sejenak kepada bumi yang menghidupkan padi-padian maka yang terjadi adalah panen yang selalu berhasil dan leuit-leuit (tempat penyimpanan padi)yang tidak pernah dihampiri hama.
Bagi orang Sunda yang hidup di pedesaan leuit memang bukan sesuatu yang asing, meski sekarang fungsinya sudah tergerus zaman. Di masa lalu, leuit punya peran vital, sebagai gudang penyimpanan gabah atau beras hasil panen. Pada saat musim paceklik, simpanan gabah itu ditumbuk untuk kemudian dijadikan pemenuhan makan sehari-hari.
Di zaman modern sekarang leuit nyaris punah. Apalagi di daerah perkotaan, orang lebih menyukai sesuatu yang serba instan. Dikatakan “nyaris punah”, karena memang masih ada sebagian warga yang tetap mempertahankan fungsi leuit. Salah satunya adalah warga adat yang menempati kaki Gunung Halimun, sebuah kawasan yang jadi simpul perbatasan tiga kabupaten, Sukabumi, Bogor, dan Lebak (Banten). Bagi mereka yang memang jauh dari ingar-bingar dan gemerlap kota, keberadaan leuit sangat vital sebagai bumper ketahanan pangan warga.
Saking pentingnya, ketika seorang bayi lahir, maka yang pertama dijadikan “hadiah” adalah membangun leuit. Begitu juga saat seseorang menikah, yang pertama harus diurus adalah leuit. “Orang kota, kalau anak lahir biasanya langsung dibelikan boks bayi. Tapi bagi warga Kampung Adat Halimun, yang pertama diberikan kepada bayi baru lahir adalah leuit”.
Leuit biasanya dibangun tidak jauh dari rumah pemiliknya. Ukurannya bervariasi, bergantung status sosial pembuatnya. Bagi kebanyakan warga, ukurannya biasanya 4 x 5 meter, sedangkan bagi orang kaya bisa lebih luas lagi, 8 x 10 meter. “Sebenarnya ukurannya bukan dalam meter, tapi daya tampung. Satu leuit bisa menampung 500 – 1.000 ikat pare gede (jenis padi yang biasa ditanam warga setempat),” katanya. Jika dikonversikan, satu ikat pare gede setara dengan 5 kg. Jadi, leuit yang dibangun warga bisa menampung 2,5 ton sampai 5 ton padi.
Bagi penduduk setempat, tidak ada jenis padi yang ditanam selain pare gede. Untuk jenis ini, biasanya panen satu tahun sekali. Meski begitu, tiap kali panen jarang gagal seperti yang biasa terjadi di daerah lain. Dalam satu kali musim panen, satu hektare sawah bisa menghasilkan sekira 5 ton lebih gabah. Pola tanam yang dianutnya dengan sistem pola tanam serentak. Tujuannya agar bisa mengurangi serangan hama. Meski satu tahun sekali, hasilnya cukup untuk dua tahun.
Dalam pandangan saya sistem ketahanan pangan leuit yang masih dianut oleh warga adat Gunung Halimun, sangat bagus. Model tersebut bisa dija
dikan contoh masyarakat modern, sehingga saat terjadi kekosongan suplai beras di pasar, masyarakat tidak kelabakan. “Saya kira, negara juga patut bercermin kepada kaum adat tadi, bagaimana mengatur tata niaga beras jangan sampai terus mengandalkan impor beras saja,”. Dalam hal ini masyarakat Ciptagelar pengetahuan tentang bagaimana cara memenuhui kebutuhan hidupnya sangat patut untuk kita contoh mereka tidak tergantung kepada orang lain atau pemerintah sendiri tetapi mereka hidup mandiri.
Pemerintahan
Abah anom sebagai kepala adat disana memliki peranan dan pengaruh sangat penting dalam masyarakatnya. Di Desa Ciptagelar tidak nampak adanya organisasi sosial yang modern seperti di daerah perkotaan, namun ketika ada kegiatan mereka secara sukarela membatu.
Gaya kepemimpinan Abah Anom sebagai seorang ketua adat dapat tergambarkan sebagai berikut, gaya kepemimpinan Abah Anom yang santun dan contoh laku hidup yang diterapkannya membuat ia menjadi panutan warga dalam kehidupan sehari-hari. Harmonisasi alam dan manusia adalah satu dari sekian banyak kearifan hidup yang dijalaninya. Bijak dalam memperlakukan alam, tak terjebak nafsu untuk menguras apa yang ada di depan mata, ia membawa warganya pada hidup yang relatif tak pernah kekurangan.
Salah satu bentuk pertanggungjawaban Abah Anom sebagai pemimpin masyarakat, di wujudkan dengan adanya pelaporan pertanggungjawaban setiap selesai upacara “Seren Taun”. Sesudah prosesi upacara tersebut, Abah Anom memberikan laporan pertanggungjawaban dalam bahasa Sunda kepada para sesepuh adat, disaksikan beberapa pejabat daerah serta ribuan warga.
Sistem organisasi kemasyarakatan di kampung ciptagelar telah berjalan dengan baik hal ini didasari karena warga menyakini bahwa Abah telah memikirkan kesejahteraan warganya. Abah dikenal memiliki banyak pembantu atau mentri yang tersebar dari pusat hingga berbagai daerah. Secara struktural tertinggi, kasepuhan ini dipimpin oleh kolot girang. Ia didampingi sesepuh induk yang dijabat oleh Marjuhi. Marjuhi merupakan mediator untuk mempertemukan para kolot lembur dengan Abah Anom. Jika ada persoalan adat atau persoalan warga, misalnya konflik tanah, maka biasanya akan ditangani terlebih dulu oleh kolot lembur di daerah. Jika gagal, masalah tersebut dapat dibawa ke sesepuh induk. Marjuhi sebagai sesepuh induk akan berusaha menyelesaikan persoalan itu. Jika tidak bisa, maka Abah Anom yang akan menjadi penentu. Tapi selama ini jarang ada konflik karena warga memegang teguh aturan adat, menurut Marjuhi. Di tingkat pusat maupun daerah juga ada fungsi-fungsi untuk menjalankan roda tata kelola adat.
Perangkat lain yang menopang berjalannya roda pemerintahan desa adat Ciptagelar yang berjalan sesuai dengan fungsinya masing-masing adalah adanya mabeurang (dukun bayi), bengkong (dukun sunat), paninggaran (memagari lahan pertanian secara gaib dari serangan hama), juru do’a, juru pantun, dukun jiwa, dukun tani, juru sawer untuk menjalankan fungsi keamanan atau ronda. Selain itu di beberapa kampung ada juga pengawal atau ajudan yang berfungsi untuk membantu membawakan barang bawaan kolot lebur jika bepergian dinas. Dan juga terdapat apa yang disebut pujangga keraton, yaitu Ki Radi namanya berusia sekitar 50 tahun, ia bertugas membunyikan kecapi buhun sambil berpantun, pada malam kedua perayaan seren taun ketika para pengunjung sudah banyak yang pulang, isi pantunnya tersebut menuturkan asal-usul perjalanan hidup.
Abah Anom juga memiliki perangkat untuk rakyat, mereka bekerja lintas administrasi desa. Dalam satu wilayah kampung adat bisa menaungi dan mengayomi beberapa desa. Di di kampong Ciptagelar ini tidak ada konflik antara otoritas pemerintah desa dengan pemerintahan adat. Dari sektor kependudukan, Abah Anom juga memiliki biro statistika yang bisa mengecek jumlah penduduk serta angka mortalitas dan natalitas. Penghitungan jumlah penduduk dibarengkan dengan pengumpulan dana untuk keperluan adat yang disebut pongokan. Tidak hanya jumlah penduduk, jumlah pongokan juga dihitung secara beraturan yang dipungut berdasarkan perhitungan jumlah hewanpiaraan dan kendaraan yang dimiliki warga. Kepemilikan hewan dan kendaraanmempengaruhi jumlah dana yang ditarik dari masing-masing keluarga. Sebab,dana seren taun ini juga berasal dari pajak ingon (hewan peliharaan) dan pajak kendaraan.
Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Dalam pembangunan jalan, jembatan, dan fasilitas umum lainnya, warga Kasepuhan Ciptagelar juga melakukannya dengan tenaga mereka sendiri. Dalam laporan kepada warganya itu, Abah Anom menyampaikan selesainya beberapa proyek pembangunan jalan dan jembatan yang menelan biaya hingga ratusan juta rupiah. Hebatnya, seluruh biaya pembangunan itu sepenuhnya swadaya masyarakat adat Kasepuhan tersebut. Kegiatan-kegiatan yang ada itu tidak terlalu banyak membutuhkan uang, tetapi tenaga. Untuk pembangunan jalan, misalnya, bantuan warga bukan berbentuk uang, tetapi tenaga.
Alat penerangan yang ada disana ternyata sudah menggunakan listrik yang dibuat oleh sekelompok orang yang merasa prihatin terhadap daerah-daerah terpencil seperti desa Ciptagelar. Listrik yang ada disana bukan listrik dari PLN namun listrik yang dibuat secara swadaya masyarakat dan bantuan donatur. Dengan adanya listerik maka tidak menuntut kemungkinan masuknya berbagai alat komunikasi seperti televisi radio komunitas. Peralatan pertanian yang digunakan disana masih sangat sederhana sekali mereka masih menggunakan kerbau sebagai alat untuk membajak tanah.
Sistem Mata Pencarian Hidup
Bagaimana warga di desa Ciptagelar berusaha hidup mandiri, sebanyak mungkin melepas ketergantungan kepada pihak lain, namun di sisi lain menjunjung tinggi kegotongroyongan di dalam “keluarga” sendiri adalah hal yang sudah semakin hilang di sekeliling kita. Meskipun mereka hidup dari hasil bersawah dan atau berladang yang panen hanya sekali setahun, di keluarga Kesatuan Adat Banten Kidul itu tak terdengar ada kabar tentang kekurangan pangan, apalagi kelaparan. Bahkan, lumbung-lumbung gabah tidak pernah kosong sepanjang tahun.
Pekerjaan masyarakat Kasepuhan rata-rata adalah bertani dan bercocok tanam padi, pekerjaan lainnya adalah beternak dan berkebun, bila sawah dalam masa Boyor / berair cukup akan dipakai untuk memelihara ikan, dan apabila kurang air akan ditanami tanaman yang berjangka pendek. Pekerjaan lainnya adalah sebagai buruh, tukang, kuli bangunan dan pedagang, bagi warga yang tinggal di kampung akan bekerja di kebun, membuat kerajinan anyaman, menanam pisang, membuat gula dll.
TURUN NYAMBUTIstilah maro system bagi dua untuk pemilik dan penggarap, baik pertanian ataupun peternakan, dan istilah bawon hanya berlaku saat panen padi, seperti jika seseorang ikut memanen dari lima ikat (sunda: pocong) maka dia akan mendapat satu pocong, begitu juga berlaku ketika menumbuk padi.
Selesai panen, setiap keluarga menyisihkan dua pocong untuk diserahkan ke sesepuh girang sebagai tatali setiap habis panen, padi tersebut biasanya disimpan di lumbung kesatuan, dan padi itu juga berfungsi sebagai cadangan bila datang musim paceklik, dan bisa dipinjam oleh siapapun, dan dikembalikan dengan jumlah yang sama.
Di Kasepuhan Ciptagelar ada satu Lumbung komunal yang beri nama leuit Si Jimat, lumbung ini dipergunakan untuk upacara adat di acara Seren Taun setiap tahunnya sebagai tempat penyimpanan indung pare.
Peraturan adat melarang untuk menjual beras sebagai makanan pokok, juga hasil olahan dari beras juga dilarang untuk di jual, tetapi masyarakat diijinkan menjual padi apabila ada kelebihan cadangan, hal ini biasanya dilakukan untuk pembangunan sarana dan prasarana warga Kasepuhan, seperti pembangunan jalan, jembatan, saluran air dsb.
Sistem Religi
Sistem religi di Desa Ciptagelar sebenarnya beragama Islam, namun unsur animisme dan dinasmisme masih sangat kental, terutama sangat terlihat pada saat adanya upacara-upacara adat. Contohnya masyarakat disana masih percaya kepada hal-hal yang sifatnya magis, tahayul dan lain-lain.
Sebagai perangkat nilai yang dimiliki masyarakat adalam memandang dan memanfaatkan lingkungan banyak dipengaruhi oleh adat istiadat dan lingkungan dimana mereka tinggal, contoh pemahaman masyarakat akan system pertanian yang menyelaraskan dengan alam dan tidak mau menanam padi jenis unggul versi pemerintah, karena;
upacara adat mengharuskan menggunakan padi local
padi jenis unggul [pemerintah] tidak dapat tumbuh dengan baik di daerah lembab dan terlalu dingin.
padi jenis lokal berbatang panjang sehingga memudahkan dietem, mudah pengeringan dan penyimpannya, tahan sampai waktu lebih dari 5 tahun dan tidak rontok.
melestarikan adat leluhur, ada sekitar 43 jenis pare rurukan (padi pokok) dan 100 jenis padi hasil silang dari pare rurukan.
dengan menanam padi setahun sekali, juga menghentikan siklus hama wereng yang biasanya jatuh apada bulan dan musim yang sudah diperhitungkan
untuk menentukan masa tanam didasarkan pada perhitungan dengan menggunakan perhitungan bintang [seperti yang diungkapkan olek Kusnaka Adimiharja.1992] yaitu;
Tanggal Kerti Kana Beusi, tanggal Kidang turun Kijang , untuk menyiapkan alat-lat pertanian,
Kidang Ngarangsang Ti Wetan, Kerti ngagoredag ka kulon untuk lahan mulai digarap.
Pengetahuan tentang hutan di masyarakat adat Kasepuhan di bagi 3 golongan, yaitu;
Hutan Tua (Leuweung Kolot), Hutan asli dengan kerimbunan dan kerapatan tinggi dan banyak satwa, tidak boleh dieksploitasi.
Hutan Titipan / Kramat (leuweung Titipan), Hutan Kramat yang harus dijaga oleh setiap orang dan tidak boleh digunakan tanpa seijin sesepuh girang, memungkinkan digunakan hasil hutannya bila ada wangsit dari leluhur.
Hutan Sempalan / bukaan (leuweung Sampalan), Hutan bukaan yang boleh dieksploitasi untuk ladang, menggembalakan ternak, mencari kayu bakar dan ditanami berbagai tanaman kayu dan buah-buahan yang hasilnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
Aturan-aturan adat dan upacara adat yang berkaitan dengan padi selalu disertai dengan upacara ritual;
Ritual: Ngaseuk
Upacara prosesi menanam padi, memohon keselamatan dan keamanan dalam menanam padi, prosesi selamatan dengan kegiatan hiburan seperti wayang golek, Jipeng, Topeng, dan Pantun Buhun. Diawali oleh sesepuh girang berziarah ke pemakaman leluhur yang tersebar di wilayah Lebak, Bogor dan Sukabumi.
Ritual: Sapang Jadian Pare
Satu minggu setelah tumbuhnya penanaman padi. Memohon ijin kepada sang ibu untuk ditananmi padi, dan restu leluhur dan Sang pencipta agar padi tumbuh dengan baik.
Ritual: Salametan Pare nyiram, mapag pare beukah
Selamatan padi keluar bunga, memohon padi tumbuh dengan baik dan terhindar dari hama:
a. Ritual: Sawenan
Upacara setelah padi keluar, memberikan pengobatan padi dengan tujuan agar padi selamat dan terisi dengan baik dan terhindar dari hama.
b. Ritual: Mipit Pare
Diadakan saat akan memotong padi baik dihuma maupun dipesawahan, dengan memohon kepada sang Pencipta agar diberikan hasil panen yang banyak dan meminta ijin untuk pemotongan padi kepada leluhur.
c. Ritual: Nganyaran / Ngabukti
Upacara ritual saat padi ditumbuk dan dimasak pertama kali, sementara itu warga menunggu sampai emak selesai dengan ritualnya.
d. Ritual Ponggokan
Seminggu sebelum Seren Taun, baris kolot berkumpul untuk membahas jumlah jiwa dihitung berdasarkan pajak /jiwa Rp.150,- dan rumah Rp.250,- (data th 1997)
Kemudian menyerahkan biaya Seren Taun yang telah disepakati sebelumnya dan membahas biaya Seren Taun yang akan datang.
e. Ritual: Seren Taun
Adalah puncak acara dari segala kegiatan masyarakat Kasepuhan yang dilakukan hanya di kampung gede setiap tahunnya. Upacara besar dalam menghormati leluhur dan Dewi Sri, dengan segala bentuk seni dan kesenian dari yang sangat buhun (lama) sampai seni yang modern sekalipun di tampilkan untuk masyarakat, dan padi di bawa dan diarak dan diiringi oleh semua orang, untuk kemudian dan disimpan di lumbung komunal Leuit Si Jimat.
Selain upacara yang terkait dengan padi, ada upacara lain yang dilakukan yaitu;
selamatan 14 bulan purnama
upacara Nyawen – bulan safar (pemasangan jimat kampong)
selamat Rosulan (permohonan)
selamatan Beberes (menghindarkan masalah karena pelanggaran)
sedekah Maulud dan Rewah ( saling mengirim makanan )
Kesenian
Seren tahun merupakan salah satu tradisi warga desa adat Ciptagelar, yang bertujuan soal prilaku, ulah, dan langkah warga kasepuhan selalu dalam kaidah adat yang santun. Ini penting, katanya, agar setiap keinginan yang dicita-citakan bisa tercapai. Pertanian subur, panen melimpah, dan hidup tenteram. Dalam acara seren tahun ini mereka biasanya menggelar berbagi kesenian seperti jaipongan, wayang golek, debus, semua ini merupakan bentuk syukuran rakyat kepada sang pencipta atas rizki yang telah diberikan kepada mereka selain itu mereka juga meminta agar kedepannya panen mereka lebih baik lagi. Selain pentas kesenian pada malam itu juga tidak sedikit orang datang ke Abah Anom yang mana para warga ingin menyampaikan keluh kesahnya sambil meminta wejangan.
Selesai atraksi ini dimulailah upacara seren taun, diawali pembacaan do’a dan renungan oleh pemuka masyarakat di depan leuit (lumbung) keramat. Usai sesi yang penuh ritual ini, abah dan istri serta anggota inti, menaiki tangga lumbung dan masuk ke dalamnya. Sepanjang acara ini asap menyan menebarkan kesan magis. Sesudah keluarga inti kasepuhan kembali ke panggung, padi yang digotong tadi mulai dimasukkan dengan cara dilempar. Acara selanjutnya adalah pidato pertanggungjawaban yang intinya nyoreang alam katukang, nyawanan bakal katukang. Yang kira-kira artinya, kecukupan di tahun yang sudah-sudah bagaimana, lalu di tahun mendatang apa yang harus dilakukan.
Simpulan
Kebudayaan merupakan hasil dari cipta dan karsa manusia dalam bermasyarakat yang dilakukan secara sadar baik oleh kelompok maupun individu. Suatu kelompok masyarakat akan membentuk sebuah kebudayaan yang didalamnya memiliki karakteristik tertentu sebagai ciri atau identitas masyarakat tersebut, sistem budaya masyarakat tersebut terangkum dalam tujuh unsur kebudayaan yang biasanya akan nyata terlihat dalam masyarakat yang masih berada di wilayah pedesaan. Masyarakat desa Ciptagelar memiliki ciri khas keunikan tersendiri sebagai masyarakat pedesaan, terutama dalam menahan derasnya kemajuan jaman dan moderenisasi.
Dalam sistem kehidupan sosialnya masyarakat desa Ciptagelar masih mempertahankan tradisi lamanya yaitu masih menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan sosial dalam bermasyarakat. Masyarakat Ciptagelar walaupun sudah mengenal yang teknologi modern seperti Televisi, Radio dll, namun mereka tetap memprtahankan tradisi lamanya, seperti dalam hal menyimpan padi. Mereka menyimpan padi di tempat yang dinamakan leuit atau lumbung padi. Penggunaan leuit ini untuk menyimpan padi setelah panen agar ketika musim tidak panen mereka tidak kekurangan makanan.
Keunikan lain yang ada di desa Ciptagelar adalah acara seren tahun dimana acara ini diadakan setahun sekali setelah panen. Acara Seren Taun ini merupakan pesta rakyat yang dilakukan untuk penyimpanan padi ke tempatnya (leuit). Dalam acara ini biasanya di lakukan berbagai hiburan rakyat seperti jaipongan wayang golek dll. Dalam upacara Seren Taun ini dapat dilihat berberapa wujud nyata yang merepresentasikan tujuh unsur kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat, yaitu sistem religi adanya unsur-unsur magis dalam upacara, sistem kesenian adanya acara hiburan rakyat atau kesenian tradisional, dan juga unsur sistem organisasi atau sistem pemerintahan dengan adanya acara laporan pertanggungjawaban dari kepala adat. Dalam unsur kebudayaan lainnya, masyarakat Ciptagelar masih merupakan salah satu desa adat yang masih teguh memegang tardisinya seperti, bentuk rumah, sistem kepemimpinan, cara bertani, kesenian, cara penyimpanan padi, dan lain-lain.(*/As)