Berita Orbit

SURVEI TIM: MASYARAKAT DUKUNG FATWA MUI UNTUK BAIKOT PRODUK PRO ISRAEL

visit indonesia

JAKARTA – Mayoritas masyarakat Indonesia mendukung fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 83 Tahun 2023 tentang Dukungan terhadap Perjuangan Palestina. Riset Pusat Studi Fatwa dan Hukum Islam (Pusfahim) UIN Jakarta mengungkap hasil riset yang mengungkap tingginya antusiasme masyarakat untuk mengikuti Fatwa MUI tentang Palestina.

&80 x 90 Image

MUI mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 83 Tahun 2023 pada 8 November 2023 lalu. Berdasarkan fatwa tersebut, dukungan perjuangan kemerdekaan Palestina hukumnya wajib, sementara mendukung Israel hukumnya haram. MUI juga menegaskan, Muslim diharamkan membeli produk dari produsen yang secara nyata terafiliasi dan mendukung agresi Israel ke Palestina. MUI mengimbau umat Islam untuk semaksimal mungkin menghindari transaksi ataupun menggunakan produk Israel dan yang terafiliasi dengan Israel serta yang mendukung penjajahan.

Hasil survei tim Riset Pusfahim UIN Jakarta menunjukkan, sebanyak 95 persen responden menyatakan bersedia untuk menaati dan melaksanakan fatwa MUI. Survei dilakukan terhadap 1.014 responden yang diperoleh secara acak melalui Google Form. Dengan metode ini, tingkat kepercayaan mencapai 95 persen, sedangkan margin of error lebih kurang 1,79 persen.

“Riset ini menemukan bahwa fatwa MUI memiliki daya terima yang sangat tinggi di tengah masyarakat. (Sebesar) 95 persen responden menyatakan menaati dan melaksanakan fatwa MUI,” ujar peneliti Pusfahim UIN Jakarta, Musa Wardi, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (5/12/2023).

Riset ini menemukan bahwa fatwa MUI memiliki daya terima yang sangat tinggi di tengah masyarakat

Lebih lanjut, riset ini menjelaskan, sebanyak 367 orang yang menyatakan telah menaati adalah memiliki rentang usia 45 tahun ke atas, 297 orang dengan rentang usia 35-45 tahun, 165 orang dengan rentang usia 25-35 tahun, dan 138 orang dengan rentang usia 15-25 tahun. Alasan menaati fatwa MUI, sebanyak 47 persen responden menaati karena panggilan keagamaan, 46 persen karena panggilan kemanusiaan, dan 7 persen karena alasan lainnya.

Mengenai pengetahuan terhadap fatwa, sebanyak 97 persen responden mengetahui keberadaan fatwa ini dan 3 persen tidak mengetahui. Mengenai pengetahuan isi fatwa, 94 persen responden mengetahui dan 6 persen tidak mengetahui isinya. Ada 94 persen responden menyatakan memahami isi fatwa dan 6 persen menyatakan tidak memahami isi fatwa.

Sumber informasi yang diperoleh responden untuk mengetahui fatwa ini adalah dari media massa online dan offline sebesar 34 persen responden, unggahan di media sosial sebesar 34 persen responden, membaca langsung salinan fatwa 15 persen responden, obrolan orang sebesar 7 persen responden, website resmi MUI Pusat sebesar 6 persen responden, dan dari pimpinan atau pengurus MUI sebesar 4 persen responden.

“Temuan riset berikutnya menyatakan, ekspresi ketaatan terhadap fatwa MUI bisa beragam; mulai dari sosialisasi hingga aksi. Ketiga, fatwa MUI memiliki pengaruh nyata dan berkontribusi dalam memberikan solusi masalah kemanusiaan,” ucap Musa.

Launching Hasil Riset ini dilakukan langsung oleh Ketua Pusfahim Asrorun Niam Sholeh. Paparan hasil riset tersebut mengawali Seminar Nasional tentang Fatwa dan Tanggung Jawab Kemanusiaan. Seminar tersebut menghadirkan beberapa pembicara. Di antaranya, Dubes Palestina untuk Indonesia Zuhair Al-Shun dan ahli hukum tata negara Prof Jimly Asshiddiqqie.

Dalam presentasinya, Zuhair Al-Shun menyampaikan apresiasi atas fatwa MUI yang sangat mendukung perjuangan Palestina. “Fatwa MUI sangat bermanfaat bagi komitmen perjuangan Palestina, dan sekaligus dukungan luar biasa, bahwa Palestina tidak sendiri dalam perjuangannya,” kata dia.

Sementara itu, Jimly Asshiddiqqie menjelaskan, salah satu pihak yang bertanggung jawab atas agresi Israel adalah Amerika Serikat. “Makanya sangat bisa dipahami kalau ada gerakan untuk memboikot produk-produk Amerika, dan diasosiasikan sebagai pihak yang terafiliasi dengan agresi Israel,” ujar dia.

Aksi boikot produk pro Israel masih terus dilakukan oleh masyarakat di sejumlah negara seiring pembantaian Israel terhadap warga Palestina yang juga masih terjadi. Hanya saja, aksi boikot yang dilakukan di setiap negara memiliki dampak berbeda.

Di Indonesia, misalnya, jika pemboikotan dilakukan terus-menerus, terancam ada pengurangan karyawan atau PHK. Sementara itu, negara lain seperti Yordania, tidak ada potensi tersebut. Beberapa karyawan justru memilih mengundurkan diri dari perusahaan yang dinilai mendukung Israel.

Menanggapi perbedaan itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal menilai, setiap negara mempunyai karakteristik berbeda. Kemudian, semakin banyak suatu negara memakai produk atau merek global dari perusahaan multinasional, maka efek boikotnya semakin besar.

“Apalagi kalau kemudian boikotnya massal. Kenapa dampaknya (boikot) di suatu negara bisa lebih sedikit, itu jika jumlah orang yang bekerja pada perusahaan multinasional tersebut bisa jadi lebih sedikit,” jelasnya , Selasa (5/12/2023).

Dia menjelaskan, perlu studi lebih lanjut guna melihat perbedaan ini, yakni dengan membandingkan satu negara dengan negara lainnya. Di Indonesia sendiri, sambungnya, berbagai produk pro Israel yang beredar di media sosial sudah membuat sebagian masyarakat bereaksi. Sebagian masyarakat itu lalu memboikot sejumlah produk di daftar tersebut sehingga menyebabkan penurunan penjualan.

“Produknya luas. Produk yang diboikot lebih ke produk waralaba yang makanan cepat saji karena itu suatu kebutuhan tersier, makanan tapi makanan berhibur bukan yang dikonsumsi sehari-hari, jadi lebih mudah,” ujar Faisal.

Hanya saja, sambung dia, untuk produk sehari-hari, seperti sabun mandi, sikat gigi, dan lainnya, lebih susah diboikot. Ia pun menilai pemboikotan harus dilakukan secara lebih jeli dan berhati-hati.(Republika)

Loading...