WALANAE, SUNGAI PURBA DI SULAWESI SELATAN
Selintas sungai itu seperti sungai biasa. Namun, siapa sangka pesisirnya menyimpan sejuta misteri. Bagai kotak Pandora para ilmuan, sejak 1940-an hingga tahun 2009 beberapa temuan membuat ilmu pengetahuan tercengang.
Di tempat inilah, fauna-fauna purba menyeruak dari kedalaman tanah, ada gajah purba (Elephas celebensis), ikan pari raksasa, buaya purba (Crocodylus sp), babi purba (Celebochoerus heekereni), hingga artefak batu.
Fosil-fosil fauna vertebrata ini ditemukan pertama kali tahun 1947 oleh Hendrik Robert van Heekeren, arkeolog Belanda, di kampung Beru jalan poros Cabenge-Pampanua Kabupaten Soppeng. Temuan ini, terus berkembang yang akhirnya menyibak ribuan fosil vertebrata di aliran sungai itu.
Pada 1997, Gert van Den Berg, seorang peneliti dari Universitas Wolongong Australia, membagi tiga babakan migrasi fauna di Wallanae. Dari mulai masa pleistosen awal pada 2,5 juta tahun lalu, hingga masa holosen pada 10.000 tahun lalu.
Dua tahun kemudian, Gert van Den Berg bersama Pusat Studi Geologi Indonesia, menyibak kembali temuannya mengenai perkakas batu di situs Talepu, Kabupaten Soppeng, pesisir Wallanae. Hasilnya pada Januari 2016, melalui serangkaian uji material menggunakan Uranium Series usia perkakas itu 118 ribu tahun lalu.
Bagaimana membayangkan 118 ribu tahun lalu? Bagaimana rupa dan wajah Wallanae atau Sulawesi Selatan pada umumnya? Pada zaman Eosen awal sekitar 50 juta tahun lalu, Sulawesi masih jauh dari bentuk yang sekarang. Semenanjung Sulawesi (Sulawesi Selatan) masih merupakan garis lurus hingga ke semenanjung utara (Sulawesi Utara). Sedangkan semenanjung tenggara (Sulawesi Tenggara) masih berhubungan dengan Teluk Bone. Sementara bagian timur Kalimantan masih berhubungan dengan bagian tengah Sulawesi. Dan semenanjung timur (Banggai dan Sula) masih merupakan pulau tersendiri.
Dan pada 40-30 juta tahun lalu, terjadi cekungan antara Kalimantan dan Sulawesi yang membentuk Selat Makassar. Dan pada sekitar 34 juta tahun lalu, terjadi pengangkatan daratan dan membentuk beberapa delta sungai dan menjadikan Banggai menyatu dengan pulau Sulawesi.
Kondisi inilah yang diperkirakan, menjadi titik awal kedatangan fauna karena perairan dangkal Selat Makassar, sebagai jembatan darat ke Sulawesi dari Paparan Sunda. Mamalia besar seperti Babyrousa (Babi Rusa) diperkirakan telah mendiami Sulawesi bagian tengah bersama nenek moyang Tarsisus. Hingga masa Miosen akhir dan awal Pliosen antara 5 hingga 4 juta tahun lalu, Sulawesi akhirnya terbentuk menyerupai bentuknya saat ini.Sementara itu, Wallanae masih tertutup air laut dalam. Lalu pada 700.000 tahun lalu, terjadi penurunan muka laut, dan mengubah lingkungan Lembah Wallanae menjadi daratan. Dan membentuk cekungan danau Tempe.
Pada periode inilah dianggap sebagai migrasi gelombang kedua fauna Asia atau Paparan Sunda memasuki Sulawesi. Pulau-pulau karang mempersempit perairan sebagai penghalang alami bagi fauna untuk mencapai Sulawesi. Diperkirakan fauna-fauna besar dari keluarga Elephantoid (Gajah Purba) mencapai Sulawesi Selatan dari arah barat daya.
Arkeolog Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala (BP3) Sulawesi Selatan, Rustan dalam 100 Tahun Purbakala Indonesia, menjelaskan dua alternatif migrasi fauna ke Sulawesi. Pertama dari Paparan Sunda ke Laut Kecil, Pasalima, Kalu-kalukuang, Doang-Doangan, dan kepulauan Spermonde. Sementara untuk jalur kedua, dari Madura ke Kangean, Tengah, Sabalana, dan Tanakeke. “Beberapa peneliti sepakat, bahwa Gajah masa lalu itu dapat berenang hingga puluhan kilometer,” kata Rustan.
Lebih lanjut, menurut Rustan, informasi mengenai kehadiran manusia sebagai bagian dari fauna di Sulawesi pada masa ini, masih sangat minim. Temuan-temuan artefak batu yang di teras tertua Wallanae belum menunjukkan penemuan yang insitu karena bisa saja artefak batu itu dibuat oleh manusia lebih belakangan ketika teras-teras tersebut terbentuk yang diperkirakan berumur Pliosen akhir-Pleistosen awal.
Artefak batu masif di Cabbenge (kawasan Lembah Wallanae) yang dikenal dengan Industri Cabbenge sejajar dengan Industri Pacitan di Jawa yang setara dengan usia 35.000 hingga 12.000 tahun lalu. “Jadi bisa saja tradisi evolusi alat batu ini sejajar dalam waktu, ataukah representasi dari adaptasi terhadap lingkungan yang berbeda,” katanya.
Melimpahnya temuan artefak, baik fosil fauna dan alat-alat batu di Lembah Wallanae menyimpan pertanyaan dimanakah manusia pembuat alat batu itu? Apakah rangka manusia telah ditemukan? Rupanya, sejak puluhan tahun lalu hingga sekarang, di pesisir Wallanae belum pernah ditemukan manusia. Bahkan Sulawesi Selatan pada umumnya.
Temuan perkakas batu yang diperkirakan berusia 118 ribu tahun lalu, diasumsikan sezaman dengan hominin (Homo florensiensis) di Flores pada 200 ribu hingga 700 ribu tahun yang lalu. “Tapi ingat, usia 118.000 tahun itu masih muda. Tidak begitu tua,” kata Iwan Sumantri, arkeolog-cum-antropolog Universitas Hasanuddin Makassar.
Menurut Iwan, benda kebudayaan manusia harus dilihat dari persepektif zaman. Teknologi masa penggunaan benda kebudayaan, pada satu masa berjalan lambat dibanding migrasi manusianya. Namun, pada tahap tertentu benda kebudayaan itu, dapat dengan cepat melampui migrasi manusia itu sendiri.
Sebagai perbandingan Homo erectus yang hidup sejak 1,5 juta tahun lalu dan Homo sapiens awal juga menggunakan peralatan batu sederhana. “Jadi untuk mengasosiasikan perkakas batu itu dengan manusia tertentu, itu agak sulit dan harusnya menemukan manusia pembuatnya,” tandasnya.(*/Fir)