Kesehatan

BENARKAH KLOROKUIN DAN PIL KINA BERPOTENSI ATASI VIRUS CORONA?

visit indonesia

Chloroquine dan pil kina merupakan obat golongan keras yang penggunaannya harus didapat dengan resep dokter
Beberapa waktu yang lalu Presiden Joko Widodo mengumumkan telah memesan 3 juta unit chloroquine phosphate atau klorokuin sebagai bekal pengobatan bagi pasien corona. Kabar tersebut membuat banyak warga memborong chloroquine sekaligus dengan teman-temannya seperti kuinin atau pil kina.

&80 x 90 Image

Sebenarnya apa itu klorokuin, apakah sama dengan pil kina? lalu adakah bahayanya jika kita mengonsumsi sendiri untuk mencegah corona?

Chloroquine Phosphate, obat malaria yang berpotensi tangani infeksi virus corona
Klorokuin adalah obat yang telah lama digunakan untuk mengobati maupun mencegah malaria. Selain itu, obat ini juga digunakan untuk mengobati rheumatoid arthritis dan penyakit autoimun seperti lupus.

Setidaknya ada dua penelitian yang mengamati efek terapi lain dari klorokuin. Penelitian awal yang dilakukan 17 tahun lalu menemukan bahwa klorokuin memiliki aktivitas sebagai antivirus pada beberapa virus seperti flavivirus, retrovirus, dan coronavirus.

Studi tahun 2017 semakin memperkuat pernyataan tersebut di mana klorokuin terbukti efektif untuk mencegah terjadinya replikasi HIV dan juga penyakit yang disebabkan oleh virus lainnya seperti SARS coronavirus. Atas dasar itulah, klorokuin mulai dicobakan pada pasien-pasien COVID-19 yang merupakan jenis coronavirus terbaru.

Klorokuin diyakini dapat menghambat pertumbuhan virus setelah diamati dapat memengaruhi proses endositosis, yang dalam konteks ini berarti proses masuknya virus ke dalam tubuh.

Pada awalnya virus akan masuk ke dalam sel yang bersifat asam, lalu klorokuin bekerja dengan meningkatkan pH endosomal yang dapat mengganggu kemampuan virus untuk masuk ke dalam sel inang dan mulai mereplikasi. Artinya keasaman pH pada sel akan diturunkan sehingga mengganggu proses masuknya virus.

Obat ini juga berinteraksi dengan reseptor yang dinamakan angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) selular yang dapat mencegah terikatnya virus pada reseptor tubuh tersebut.

Dalam sebuah laporan konferensi yang diadakan 15 Februari 2020 lalu, pemerintah Cina bersama dengan para peneliti mengumumkan telah menguji klorokuin fosfat pada 100 pasien di 10 rumah sakit di Wuhan, Cina.

Hasilnya menunjukkan bahwa klorokuin fosfat efektif untuk menghambat terjadinya komplikasi pneumonia pada pasien COVID-19. Selain itu hasil rontgen paru-paru pasien meningkat jadi lebih baik, menghambat penyebaran virus dan memulihkan pasien lebih cepat.

Kontroversi chloroquine phosphate sebagai obat COVID-19
Organisasi kesehatan dunia, WHO, 20 Maret 2020 lalu mengumumkan program uji coba bernama “Solidarity” terkait obat yang dapat mengatasi COVID-19. Klorokuin terdapat pada daftar yang diujicobakan pada program tersebut. Awalnya panitia ragu untuk memasukkan obat ini ke dalam program uji coba tersebut, karena datanya dianggap belum cukup banyak.

Mereka beranggapan bahwa mekanisme pada COVID-19 bisa saja berbeda dari coronavirus lainnya. Pasalnya, klorokuin telah banyak diuji coba pada hewan tetapi tidak pernah berhasil pada manusia. Dosis yang dibutuhkan untuk memberikan khasiat terapi pada manusia terlalu tinggi hingga dikhawatirkan efek samping yang ditimbulkan pun lebih parah daripada khasiatnya.

Namun penelitian yang dilakukan di Wuhan sebelumnya membuat para ilmuwan WHO itu kemudian mempertimbangkannya dan akhirnya memasukkan klorokuin ke dalam daftar obat yang akan diujikan.

Hingga saat ini, sudah ada 20 jurnal penelitian yang mengamati efek klorokuin terhadap COVID-19. Namun belum ada yang membuat WHO, sebagai kiblat informasi kesehatan dunia, yakin untuk menetapkan obat ini sebagai pengobatan utama virus corona.

Dari semua laporan studi tentang obat-obatan yang berpotensi mengobati COVID-19, WHO telah menyimpulkan bahwa studi skala kecil yang diamati dengan metode non-acak tidak akan memberikan hasil yang begitu efektif, termasuk beberapa studi tentang klorokuin ini. Menggunakan obat-obatan yang tidak diuji tanpa bukti menyeluruh hanya akan memberi harapan palsu pada khalayak.

Oleh karena itu, meskipun klorokuin sudah dipakai dalam pengobatan COVID-19, klorokuin diumumkan sebagai pengobatan lini kedua dan bukan pengobatan utama, karena nyatanya obat COVID-19 belum ditemukan.

Klorokuin berbeda dengan pil kina yang kita kenal di pasaran
Di tengah kepanikan masyarakat akan virus yang terus mewabah ini, banyak dari mereka yang lantas mencari obat ini di pasaran, harganya pun kian melambung. Tak hanya klorokuin yang diburu, obat sejenis yang lebih umum ditemui di Indonesia, pil kina pun jadi incaran massa.
Padahal zat aktif kedua obat ini memiliki beberapa perbedaan.

Pil kina yang biasa kita temui di pasaran mengandung kuinin sulfat bukan klorokuin fosfat. Meskipun memiliki dasar struktur dan mekanisme yang sama sebagai pengobatan malaria, kuinin sulfat belum diujikan secara langsung pada pasien COVID-19. Kuinin merupakan zat aktif pil kina yang diekstrak dari pohon kina. Saat ini kuinin masih dijadikan wacana untuk selanjutnya diteliti oleh para ilmuwan Indonesia. Potensinya dianggap sangat besar, mengingat sumber alam Indonesia akan pohon kina ini sangat luas.

Di tengah pandemik yang berkembang dengan cepat, para ilmuwan pun berpacu untuk menemukan pengobatan yang paling efektif. Dari beberapa jenis metode penemuan obat baru, ada yang dinamakan metode reverse pharmacology di mana prosesnya dibalik. Jika biasanya obat baru lahir dari laboratorium kemudian diujikan secara klinis, untuk obat ini maka akan diujikan secara klinis kemudian diamati kegiatan biokimianya di laboratorium.

Jadi, pil kina saat ini tidak bisa dijadikan obat untuk menangani atau mencegah COVID-19

Sampai tiba saatnya hasil penelitian tersebut dirilis, kita sebagai masyarakat umum sebaiknya tidak gegabah menganggap pil kina dapat mengobati COVID-19 dan kemudian mengonsumsinya tanpa anjuran dokter. Perlu diingat, klorokuin yang sudah diteliti pun digunakan untuk pengobatan dan bukan untuk pencegahan.

Baik klorokuin maupun pil kina keduanya adalah obat golongan keras yang hanya bisa didapat dengan resep dokter. Penggunaan secara bebas yang tidak tepat guna dapat menyebabkan bahaya sebagai berikut:

1. Gangguan penglihatan hingga kebutaan
Berdasarkan suatu studi, diungkapkan bahwa klorokuin dalam dosis besar dan penggunaan yang panjang dapat menyebabkan gangguan penglihatan hingga kebutaan permanen.

2. Gangguan jantung
Klorokuin pernah dilaporkan dalam suatu jurnal bahwa pada pasien rheumatoid arthritis efek samping dari klorokuin dapat menyebabkan gagal jantung dan gangguan jantung lainnya.

3. Kematian
Pada penggunaan yang tidak tepat dan dosis yang salah, ada banyak kasus yang menyebutkan bahwa klorokuin dapat menyebabkan efek paling fatal yaitu kematian.

Bahkan info terbaru yang dilansir dari CNN Health, ada dua kasus kematian yang terjadi akibat mengonsumsi sendiri klorokuin untuk mengatasi virus corona tanpa anjuran dokter. Sebagai kelompok rentan terkena corona, pasangan berusia 60 tahun tersebut lantas meminum klorokuin sebagai upaya pencegahan COVID-19. Namun nahas, kematianlah yang didapat oleh dua korban tersebut.

4. Kelangkaan bagi pasien lupus dan malaria
Sebelum disorot karena disebut dapat mengatasi corona, obat ini diperuntukkan bagi pasien lupus dan malaria. Jika penggunaannya kemudian digunakan secara luas tanpa mempertimbangkan proses produksi khusus untuk tujuan barunya, tentu benda ini akan semakin langka. Masalah lain yang mengancam jiwa pun akan muncul dari pasien lupus dan malaria yang sulit mendapatkan obat mereka.

Di tengah pandemik yang kian melanda, temuan pengobatan untuk mencegah maupun mengobati tentu diharapkan agar cepat tersedia. Namun sisi keamanannya pun tidak bisa diabaikan. Penelitian dan analisis oleh ahlinya diperlukan untuk memastikan kedua faktor tersebut terpenuhi.(*/Di)

Loading...