ASAL USUL KERBAU BULE KIAI SLAMET
Selasa (4/11/2014) malam, “pemilik” dan abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta berduka. Kerbau bule Kiai Slamet yang selama ini “dikeramatkan” meninggal dunia. Bagaimana sejarah keberadaan hewan bertubuh tambun berkulit putih itu?
Duka mendalam juga dirasakan masyarakat Solo, Jawa Tengah, yang selama ini menganggap hewan tersebut bisa mendatangkan keberkahan.
Kali ini, Cerita Pagi mencoba menjelaskan tentang asal usul keberadaan hewan ini. Sejak 250 tahun lalu hingga kini, kerbau bule Kiai Slamet memiliki makna khusus, sekaligus mendapat tempat terhormat dalam kehidupan di Keraton Kasunanan Surakarta.
Tentu saja, bukan kerbau sembarang kerbau. Namun, inilah kerbau yang menjadi hewan keramat di wilayah Surakarta. Tak ada yang bisa memastikan sejak kapan kerbau ini menjadi sesuatu yang disayangi/dibanggakan keraton.
Banyak versi tentang asal muasal kerbau berkulit albino ini. Menurut cerita seorang abdi dalem keraton, konon kerbau bule Kiai Slamet adalah seekor kerbau jantan besar keturunan kerbau bule zaman Sultan Agung Hanyakrakusumo.
Pada zaman Sultan Agung pernah terjadi peristiwa kebakaran hebat yang melanda sebuah perkampungan. Saking besarnya kobaran api, merembet ke wilayah keraton. Anehnya, jilatan api tidak bisa melewati sebuah kandang kerbau. Padahal kandang-kandang lain sudah ludes terbakar beserta ternak di dalamnya.
Setelah api dapat dipadamkan, kandang kerbau itu tetap utuh. Bahkan rumput yang menjadi pakan (makanan) kerbau tetap tak tersentuh api. Secara nalar, hal ini tak mungkin terjadi. Sebab, semua bangunan yang berada di sekitar kandang sudah rata jadi abu.
Ketika Sang Raja menengok kandang, seekor kerbau bule sedang makan rumput ditunggu seorang penjaga kandang yang membawa sebuah tombak.
Baru saja melihat keajaiban itu, terdengar suara hiruk pikuk warga yang mengabarkan terjadinya kebakaran lagi.
Sultan Agung pun memerintahkan penjaga kandang dan kerbaunya untuk mengelilingi tempat yang dilanda kebakaran. Anehnya, begitu kerbau dan penjaga kandang datang dengan membawa tombak, kebakaran langsung mereda.
Sejak saat itulah kerbau dan tombak beserta penjaga kandang menjadi milik keraton. Kerbau dan tombak akhirnya dinamakan Kiai Slamet. Sedangkan si penjaga kandang diangkat menjadi punggawa keraton dengan pangkat Ki Lurah Maesaprawira.
Ada versi lain tentang keberadaan kerbau bule ini. Konon, kerbau bule ini merupakan hadiah dari Bupati Ponorogo untuk Pakoe Boewono II, sekitar abad 17. Kisah ini berawal dari pemberontakan yang dilakukan Pangeran Mangkubumi hingga membuat sinuwun (Raja Pakoe Boewono II) harus mengungsi ke Ponorogo.
Sang Raja ditampung oleh Bupati Ponorogo dan tinggal di Ponorogo hingga pemberontakan berakhir.
Pada masa pelariannya ini, Pakoe Boewono II mendapat petunjuk gaib bahwa pusaka Kiai Slamet harus direkso (dijaga) oleh sepasang kerbau bule agar kerajaan aman dan langgeng.
Tanpa disangka, sang Bupati tiba-tiba ingin menunjukkan baktinya kepada rajanya dengan memberikan sepasang kerbau bule.
Pada masa itu, bahkan pada masa sekarang, kerbau bule sangat jarang ditemui dan hanya dimiliki oleh orang-orang penting. Sang Raja pun menerima hadiah ini dan membawa sepasang kerbau bule ke Keraton Kartasura. Setelah pemberontakan usai, keraton pindah ke Solo menjadi Keraton Surakarta.
Selama bertahun-tahun dan turun-temurun, kerbau bule menjadi penjaga pusaka Kiai Slamet. Nama Kiai Slamet yang sebenarnya merupakan nama pusaka yang konon berupa tombak itu pun, lama-kelamaan melekat pada kerbau bule.
Setiap malam 1 Sura (1 Muharam), kerbau bule ini menjadi cucuk lampah (pengiring) pusaka Kiai Slamet yang dikirab bersama pusaka-pusaka keraton lainnya. Bahkan konon, di masa lalu, kerbau Kiai Slamet adalah sang penentu waktu, kapan waktu yang tepat Kirab Pusaka ini mulai berjalan.
Ritual kirab malam 1 Sura itu sendiri sangat ditunggu-tunggu masyarakat. Ribuan orang tumpah ruah memadati sekitar keraton dan jalan-jalan yang akan dilewati yang biasanya dimulai tengah malam.
Namun, ada kalanya kirab baru dimulai pada pukul 01.00 WIB atau 02.00 WIB dini hari karena kerbau-kerbau baru mau keluar kandang selepas pukul 01.00 WIB.
Pihak keraton memang tidak bisa memaksa kerbau-kerbau keluar kandang sesuai dengan keinginan. Jika saatnya tiba, tanpa digiring pun kawanan kerbau bule akan keluar dan berjalan menuju halaman keraton. Maka, kirab pun dimulai.
Kawanan kerbau bule menjadi pembuka jalan barisan pusaka keraton yang dibawa para abdi dalem keraton. Kerumunan orang pun menyemut dari keraton hingga di sepanjang jalan yang dilalui arak-arakan, salah satunya Jalan Slamet Riyadi.
Inilah yang menarik: orang-orang menyikapi kekeramatan kerbau Kiai Slamet sedemikian rupa, hingga seolah tak masuk akal. Betapa tidak, dalam kirab Malam 1 Sura, orang-orang saling berdesakan dan berebut untuk bisa menyentuh bagian badan kerbau bule, untuk mendapatkan berkah.
Tak hanya badan, kotoran si kerbau pun dipercaya akan memberikan berkah, keselamatan, dan rejeki berlimpah. Maka jangan heran jika di sepanjang kirab, orang-orang terus berjalan mengikuti sekawanan kerbau ini, menunggu Kiai Slamet membuang kotoran.
Begitu kotoran jatuh ke jalan, orang-orang pun berhamburan memperebutkannya, seolah emas berlian. Mereka menyebutnya sebagai tradisi ngalap berkah atau mencari berkah Kiai Slamet.
Namun demikian, selama ini pihak keraton tidak pernah menyatakan bahwa tlethong (kotoran) kerbau bisa mendatangkan berkah. Apa pun, masyarakat sudah telanjur percaya bahwa Kiai Slamet bukan kerbau biasa. Sekawanan kerbau ini diyakini keramat dan mempunyai kekuatan gaib yang mampu mendatangkan berkah.
Kerbau Kiai Slamet yang saat ini berjumlah 11 ekor ini konon memiliki banyak keunikan. Kawanan kerbau ini misalnya, sering berkelana ke tempat-tempat jauh untuk mencari makan, tanpa diikuti abdi dalem yang bertugas menggembalakannya.
Mereka berjalan jauh bahkan sampai Cilacap yang jaraknya lebih 100 km dari Kota Solo. Mereka juga bisa sampai Madiun, Jawa Timur. Namun anehnya, menjelang malam 1 Suro, kawanan kerbau bule ini kembali ke keraton untuk mengikuti ritual kirab pusaka.
Usai kirab, kawanan kerbau tersebut segera kembali ke kandangnya di alun-alun selatan Keraton Kasunanan Surakarta.
Menariknya, setiap kali menjelang 1 Suro, sang kerbau selalu kembali ke Alun-alun selatan Keraton, tempat biasa merumput. Di saat kirab pun sang kerbau tak pernah lepas dari fenomena menarik. Yang pertama adalah kesukaan sang kiai untuk minum kopi dan makan telur mentah sebelum kirab dimulai.
Jika di perjalanan kirab Kiai Slamet membuang kotoran (maaf), banyak penonton akan langsung berebut kotorannya dan menyimpannya. Untuk apa? Masyarakat desa di sekitar Solo masih sangat percaya bahwa kotoran Sang Kiai bisa menyuburkan tanah pertaniannya dan menjauhkannya dari kegagalan panen.
Perlakuan terhormat terhadap kerbau bule tak hanya ketika hidup. Ketika salah satu keturunan kerbau bule Kiai Slamet mati, prosesi pemakaman dilakukan layaknya memakamkan manusia. Mulai dari ritual memandikan, dikafani, tabur bunga hingga ditutup dengan doa.
Prosesi dimulai dengan mensucikan (memandikan) layaknya jenazah manusia. Secara bergantian, para abdi dalem menyiramkan air berbunga mawar sebagai tanda penghormatan kepada hewan itu. Sang kerbau lantas diposisikan menghadap barat, layaknya memakamkan manusia.
Saat tubuh sang kerbau sudah sesuai, abdi dalem menyelimutinya dengan kain kafan, hingga semua tubuh terbungkus kecuali bagian kepala (wajah). Kemudian rangkaian bunga melati dihiaskan di tubuh kerbau, diikuti taburan bunga mawar.
Tak berselang lama, sejumlah warga tampak melemparkan uang (sawer) ke liang lahat, sebelum ulama keraton memimpin doa pemakaman. Seusai didoakan, liang pun ditutup dengan tanah layaknya makam-makam manusia.(*/Ndo)