JOKO DOLOG, ARCA MONEMENTAL YANG TERLUPAKAN
Mendengar nama Arca Joko Dolog tentunya sebagian warga di Kota Surabaya, Jawa Timur langsung teringat kepada Raja Singosari yang terakhir yaitu Kartanegara.
Karena Patung atau arca ini diyakini merupakan perwujudan dari Sang Raja Singosari yang terkenal tersebut.
Kali ini mencoba mengulas sedikit tentang Joko Dolog yang seolah menjadi arca yang monumental dan terabaikan begitu saja.
Padahal patung ini memiliki nilai history yang tinggi terkait kebesaran dan kewibawaan nusantara pada masa lampau di era Kerajaan Singosari dan Kerajaan Majapahit.
Dari berbagai literatur baik di web maupun blog, arca ini dibuat di Pemakaman Wurarare (Lemahtulia) kediaman Mpu Bharadah atau di Desa Kedungwulan, Nganjuk, Jawa Timur.
Hal ini berdasarkan prasasti yang berada di patung tersebut tepatnya pada dudukan sang arca. Pada lapiknya terdapat prasasti yang merupakan sajak, memakai huruf Jawa kuno, dan berbahasa Sansekerta.
Dalam prasasti tersebut disebutkan tempat yang bernama Wurare, sehingga prasastinya disebut dengan nama Prasasti Wurare.
Angka prasasti menunjukkan 1211 Saka yang juga menurut legenda patung ini dibuat dan ditulis oleh seorang abdi raja Kertajaya bernama Nada.
Namun, pada tahun 1812, arca ini hampir saja menjadi koleksi Museum Leiden di Belanda. Untungnya arca ini tidak jadi dibawa ke Belanda. Kemudian patung ini oleh Belanda ditinggalkan begitu saja pada sebuah tempat di Kota Surabaya yang sekarang dijadikan tempat SMU Trimurti, Surabaya.
Patung tersebut dibuat untuk menghormati Kertanegara Putra Wisnu Wardhana sebagai Raja Singosari pada masa itu. Beliau terkenal karena kebijaksanaannya, pengetahuannya yang luas dalam bidang hukum dan ketaatannya pada agama Buddha.
Oleh kerena itu dia pun kemudian dikukuhkan sebagai Jina Mahasobya dengan gelar Crijnanaciwabajra.
Gelar ini menunjukkan penghormatan yang luar biasa terhadap Kertanegara. Sebutan Kertanegara sebagai Mahasobhya berarti dia memiliki sifat yang ada dalam diri Dewa Aksobhya, yaitu mempunyai sifat damai, berkuasa, dan kekuasaannya yang tiada tandingannya.
Hal ini diwujudkan melalui bentuk arca yang dibuat dengan raut muka teduh dan telapak tangan kiri tertutup dan seolah ingin menyentuh bumi.
Selain itu Kartanegara mempunyai sikap tegas untuk tidak tunduk pada intervensi negara asing.
Hal ini dibuktikannya dengan memotong kuping Meng Khi utusan Kubilai Khan, Kaisar Mongol yang meminta agar Kertanagara tunduk kepada kekuasaannya.
Padahal wilayah jajahan Kubilai Khan yang merupakan pendiri Dinasti Yuan saat itu meliputi hingga separuh daratan Asia hingga Eropa Tengah. Namun raja Jawa ini tidak gentar sedikitpun menghadapi serbuan pasukan Kekaisaran Mongolia ini.
Bahkan untuk mengantisipasi serangan Mongol, Kartanegara mengirim armada lautnya ke Selat Malaka dengan nama ekspedisi Pamalayu.
Pasukan Kartanegara ini merupakan salah satu cikal bakal armada laut yang nantinya dilanjutkan oleh Kerajaan Majapahit.
Ekspedisi Pamalayu bertujuan untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sumatera sehingga dapat memperkuat pengaruh di Selat Malaka.
Selain itu juga bertujuan untuk menghadang pengaruh kekuasaan Mongol yang telah menguasai hampir seluruh daratan Asia.
Raja bergelar Sri Maharajadhiraja Kartanagara Wikrama Dharmmottunggadewa ini juga mempunyai cita-cita untuk mempersatukan berbagai kerajaan di Nusantara.
Karena dalam legenda juga disebutkan bahwa Kertanegara membangun patung untuk menghilangkan kutukan Mpu Bharadah yang dapat menggagalkan usahanya mempersatukan kerajaan – kerajaan di tanah Jawa yang terpisah-pisah pada saat itu.
Patung ini juga merupakan simbol penyatuan agama Hindu aliran Syiwa dengan agama Buddha aliran Tantrayana yang dianut Kartanegara.
Karenanya ada beberapa sipat Kartanegara yang bisa dicontoh diantaranya cakap dan tegas dalam bidang pemerintahan, ahli tatanegara, mempunyai pengetahuan yang tinggi terutama di bidang agama.
Selain itu Kartanegara juga menghormati kebebasan beragama. Dan yang patut dicatat beliau tidak gentar dengan intervensi asing.(*/Dan)