Histori

GUA MAMPU DAN LEGENDA SATU KAMPUNG DIKUTUK JADI BATU

visit indonesia

Gua Mampu di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, menyimpan sebuah legenda saat satu kampung dikutuk menjadi batu. Berikut ini ceritanya.

&80 x 90 Image

Gua Mampu yang dikelola Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Bone adalah objek wisata alam yang terletak di Desa Cabbeng, Kecamatan Dua Boccoe, berjarak 60 km dari Kota Watampone, Kabupaten Bone, atau sekitar 140 km dari Kota Makassar.

Seperti umumnya gua-gua kapur yang banyak ditemukan di Sulawesi Selatan, Gua Mampu dihiasi dengan stalagmit dan stalagtit yang unik. Gua ini juga bertingkat. Rongga-rongga kapur ditemukan saling bersusun memanjakan pengunjung yang ingin bereksplorasi di dalam gua.

Di tiap ruangan Gua Mampu terdapat berbagai stalagmit dan stalagtit yang terbentuk secara alami. Bentuknya unik hingga menyerupai berbagai makhluk hidup dan benda-benda peradaban manusia yang seolah telah membatu.

Situs Gua Mampu terbentuk dari batuan gamping, sehingga pada bagian perutnya terdapat pintu masuk. Di gua ini terdapat enam ceruk yang dihubungkan dengan ceruk lainnya. Pada bagian dalam Gua Mampu terdapat travertin yang membentuk stalagmit, stalaktit sehingga membentuk pilar-pilar alam.

Meski beberapa terowongan tertentu terdapat tempat-tempat yang cukup gelap, tetapi pada bagian-bagian mulut gua terang karena jumlah sinar matahari yang masuk cukup banyak.

Suhu udara Gua Mampu terutama yang terdapat pada mulut gua berkisar 26-29 derajat celsius, dengan kelembaban sekitar 80 %. Dengan keadaan ini, manusia dapat hidup di dalamnya.

Pada bagian terowongan yang gelap, langit-langitnya ditempati kelelawar dalam jumlah yang sangat besar. Oleh penduduk setempat, kotoran kelelawar dikumpulkan sebagai pupuk guano.

Salah seorang tokoh masyarakat yang merupakan penilik pemuda dan seni di Kantor Kecamatan Dua Boccoe, Andi Darma Abdul Majid mengatakan, letak Gua Mampu diyakini pada mulanya adalah pusat Kerajaan Mampu yang diperkirakan ada sebelum munculnya Kerajaan Bone.

Kata dia, legenda Gua Mampu tidak bisa lepas dari sejarah Kerajaan Mampu. Namun, detail sejarah Kerajaan Mampu tidak seeksis catatan sejarah Kerajaan Bone. Hal ini disebabkan kurangnya bukti-bukti sejarah yang ditemukan.

Kerajaan Mampu lalu berasimilasi dengan Kerajaan Bone melalui perkawinan hingga kerajaan tua ini meredup. Namun, saat ini banyak masyarakat, yang masih bermukim di wilayah itu maupun telah merantau, mengklaim sebagai keturunan Kerajaan Mampu.

Menurut Andi Darma, sejarah Kerajaan Mampu dan legenda Gua Mampu bagai sisi mata uang. Walau dari hasil penelitian tidak ada bukti yang menghubungkannya, legenda Gua Mampu dilestarikan secara turun-temurun melalui cerita rakyat.

Andi mengisahkan, beberapa tahun lalu dia memandu peneliti arkelologi dan geologi untuk meneliti stalagmit dan stalagtit di dalam gua tersebut. Namun, tidak ditemukan bukti bahwa patung-patung yang terbentuk itu adalah fosil atau sisa makhluk hidup yang membatu, murni endapan kapur yang terbentuk secara alami.

“Hal ini yang membuktikan bahwa legenda Gua Mampu hanyalah mitos. Sementara, di atas Gua Mampu terdapat bidang lahan yang lapang. Di tempat itu ditemukan tempat pelantikan raja, yang diduga tempat pelantikan raja Mampu dan lubang-lubang ‘gulaceng’ (permainan tradisional yang biasanya dimainkan putri raja pada zaman dahulu). Bukti ini menunjukkan Kerajaan Mampu pernah ada di wilayah itu,” jelas Andi.

Sementara, di dalam salah satu rongga Gua Mampu seluas 2.000 meter persegi, terdapat bongkahan batu yang menyerupai hewan, perabotan, lahan persawahan, tumpukan padi perahu, manusia yang digarami, alat penenun, dan berbagai benda-benda peradaban manusia yang terbentuk rapi dari endapan kapur selama ribuan tahun.

Sehingga, jika ditelusuri seolah ruangan dalam gua tersebut adalah satu perkampungan yang telah membatu. Selain itu, terdapat tiga kuburan yang diyakini warga setempat adalah makam raja Mampu.

Andi Darma mengatakan, dari cerita turun-temurun, makam tersebut adalah makam Petta Makkunraie (permasiuri raja Mampu) yang terletak di dekat mulut gua. Ada juga makam Petta Tanrewara (raja Mampu yang meninggal lalu menghilang dengan menjadi api yang tinggi kobarannya) yang terletak di lantai ke-7 di dalam gua tersebut. Satu lagi diyakini sebagai makam putrinya yang bernama We Lele Ellung.

Namun, hingga saat ini belum diketahui apakah makam raja Mampu itu benar atau tidak, karena tidak diketahui ada atau tidaknya fosil manusia di bawah makam tersebut. Andi Darma lebih menduga endapan kapur yang berbentuk makam tersebut seperti dengan patung-patung lainya yang terbentuk dari stalagmit dan stalagtit selama ribuan tahun lamanya.

Kondisi alam Gua Mampu yang unik tersebut ‘dibumbui’ dengan legenda rakyat yang dikenal dengan istilah ‘Sijello to Mampu’ (saling tunjuk orang Mampu). Legenda ini juga tercatat dalam buku Lontara Bugis tentang kisah sebuah perkampungan yang mendapat kutukan dan seluruhnya telah berubah menjadi batu. Hanya saja, hingga kini tidak ada pelurusan tentang legenda Gua Mampu sehingga banyak versi yang berkembang di dalam masyarakat.

Dari literatur ‘Kerajaan Bone di Lintasan Sejarah’ yang diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bone tahun 2015, peristiwa ini bermula pada zaman kacau balau, termasuk di Mampu. Suatu hari, setelah didahului oleh peristiwa alam yang menakutkan dan menimbulkan kekacauan, tiba-tiba muncul dua orang bersaudara di ujung sebelah timur Bukit Lapakkang Riawang yang tidak diketahui asal usulnya. Kedua orang ini bernama Guttu Tallemma. Sementara, yang wanita bernama We Sinra Langi.

Tidak lama setelah kehadiran kedua orang ini, di sebelah barat muncul lagi dua orang bersaudara yakni seorang pria yang bernama La Paturungi dan seorang wanita yang bernama We Senggeng Talaga. Kehadiran keempat orang tersebut yang dikultuskan (disimbolkan Tomanurung), ternyata menarik simpati masyarakat Mampu dan bermaksud menjadikannya pemimpin (arung). Kemudian, di antara keempat To-Manurung ini terjadi kawin saling silang.

Setelah perkawinan, kedua pasang To-Manurung hidup makmur dan damai. Selanjutnya, pasangan pertama yaitu Guttu Tallemma dengan We Sengeng Telaga, melahirkan seorang anak laki-laki bernama La Oddang Patara, sedangkan pasangan yang lain yaitu Lapaturungi dengan We Sinra Langi melahirkan anak yang bernama We Lele Ellung,

La Oddang Patara lalu menikah dengan sepupunya, We Lele Ellung, dan beranak pinak. Hal ini membuat La Oddang Patara menguatkan kedudukannya sebagai raja Mampu.

Lalu, terjadi bencana. Sang Dewata mengutuk Kerajaan Mampu menjadi batu. Kutukan tersebut akibat keangkuhan putri bungsu La Oddang Patara yang bernama We Apung Mangenre. Kala itu, dia sedang menenun sarung, namun salah satu alat tenunnya yaitu ‘Kapelu’ (gulungan benang), terjatuh ke tanah.

Karena saat itu tidak ada hamba yang bisa disuruh mengambil alat tenunnya, dia memanggil anjingnya yang bernama La Sarewong untuk memungutnya. Anjing tersebut lalu memungut dan meletakkannya di hadapan We Apung Mangenre. Setelah itu terjadi keanehan pada dirinya. Bagian tubuh mulai berubah menjadi batu.

Ketika orangtuanya kembali, mereka ‘makkamparang’ (bertanya keheranan sambil menunjuk) dan setiap orang yang makkamparang akan berubah menjadi batu. Begitu juga dengan seantero negeri Mampu, semuanya makkamparang sehingga seluruh kampung itu menjadi batu. Peristiwa ini disebut ‘sijello to Mampu’ dalam legenda tersebut.

Terdapat pula cerita rakyat dalam versi sedikit berbeda, yakni di Kerajaan Mampu dahulu kala ada sepasang pengantin baru yang belum saling mengenal.

Pengantin perempuan memiliki kelebihan pandai menenun kain (mattennung). Suatu ketika, salah satu alat tenunnya (anak caropong) jatuh di bawah rumahnya. Pengantin perempuan tersebut harus melewati tangga untuk turun mengambil anak caropongnya yang ada di bawah rumah.

Namun, dia malu untuk turun ke tanah karena suaminya duduk di tangga. Maklumlah, keduanya belum saling mengenal (belum sikacuang). Sehingga, mereka mengurungkan niatnya untuk turun ke tanah.

Setelah itu mereka kembali ke dalam rumah. Pada saat itu pula ada seekor anjing lewat di bawah rumah. Selanjutnya, mereka meminta tolong kepada anjing tersebut untuk mengambilkan alat tenunnya yang jatuh di bawah rumah, lalu mengatakan “Asu! Alangekka ana’ caropokku’ (ambilkan anak ceropongku).

Setelah pengantin tersebut berkata yang sama, anjing itu langsung menggigit anak caropong tersebut. Seketika, anjing dan seluruh isi Kerajaan Mampu termasuk raja Mampu berubah menjadi batu (malebbo), dikutuk oleh Dewatae.

Legenda ini disebarkan melalui tutur oleh warga setempat. Namun, seiring perkembagan teknologi dan pengetahuan, legenda ini mulai terkikis. Generasi baru bahkan mulai tidak mengetahui cerita tersebut. Stalagmit dan stalagtit Gua Mampu pada akhirnya hanya sebatas fenomena alam yang indah tanpa kesan mitos nan mistis.

Untuk melestarikan legenda ini, Pemda Bone melalui Disbudpar Bone telah merangkum kisah itu dalam sebuah buku sebagai panduan kala berkunjung ke Gua Mampu.

Nah, bagi Anda yang ingin masuk ke dalam gua ini, harus mempersiapkan diri. Sebab, beberapa bagian di dalam gua gelap gulita. Pengunjung juga bisa menyewa obor yang disediakan warga setempat. Selain itu, jika berminat untuk menyusuri gua, Anda dapat menyewa pemandu lokal yang selalu siap sedia agar tidak tersesat di dalam dan bisa mendengarkan legenda Gua Mampu.(*/Tian)

Loading...