Asal Usul

KISAH NABI YUSYA, PANGLIMA PERANG YANG MENAHAN MATAHARI TIDAK TERBENAM

visit indonesia

Nabiyullah Yusya’ adalah seorang Nabi dan panglima perang yang berhasil membuka Tanah Suci (Baitul Maqdis) untuk Bani Israil setelah wafatnya Nabi Musa ‘alaihissalam (AS). Allah memberinya karunia dan kemenangan atas musuh-musuhnya.

&80 x 90 Image

Kisah Nabi Yusya’ menahan matahari ini diceritakan Syeikh Umar Sulaiman Al-Asyqor (Guru Besar Universitas Islam Yordania) dalam kitabnya “Kisah-kisah Shahih Seputar Para Nabi dan Rasul”. Syeikh Umar menukil salah satu hadis Hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim.

Syeikh Umar menceritakan, Nabiyullah yang berperang untuk membuka sebuah desa itu adalah Yusya’ bin Nun, salah seorang Nabi Bani Israil. Beliau adalah orang yang selalu mendampingi Nabi Musa dalam hidupnya. Beliau juga yang menemani Nabi Musa dalam perjalanannya kepada Nabi Khidhir.

Allah memberinya wahyu setelah Nabi Musa wafat dan Musa mengangkatnya sebagai penerusnya di Bani Israil. Nabi Yusya’ adalah pemimpin yang berkat jasanya Tanah Suci bisa direbut kembali. Saat persiapannya menuju kota yang hendak ditaklukkan, Nabi Yusya’ berusaha agar pasukannya menjadi pasukan kuat dan tangguh. Karena itu, dia menyortir prajurit-prajurit yang bisa menjadi biang kekalahan, karena hati mereka lebih disibukkan oleh perkara dunia.

Nabi Yusya’ mengeluarkan tiga kelompok prajurit yang itu tidak diizinkan untuk pergi berperang. Kelompok pertama adalah orang yang telah berakad nikah tetapi belum menyentuh istrinya. Kelompok ini tidak diragukan pastilah sangat tergantung hatinya dengan istrinya, lebih-lebih jika dia masih muda.

Kelompok kedua adalah orang yang sibuk membangun rumah dan belum menyelesaikan bangunannya. Kelompok ketiga adalah orang yang membeli unta atau domba bunting sementara dia menantikan kelahirannya. Prinsip yang dipegang oleh Nabi Yusya’ ini menunjukkan bahwa dia adalah panglima yang unggul, pemilik taktik jitu dalam memimpin dan menyiapkan bala tentara sehingga kemenangan bisa diwujudkan.

Prajurit tidak menang dengan jumlah besarnya, akan tetapi dengan kualitas. Ini lebih penting daripada jumlah dan kuantitas. Oleh karenanya, Yusya’ mengeluarkan orang-orang yang berhati sibuk dari pasukannya, yakni orang-orang yang badannya di medan perang, tetapi pikirannya bersama istri yang belum disentuhnya atau rumah yang belum diselesaikannya atau ternak yang ditunggu kelahirannya.

Apa yang dilakukan Nabi Yusya’ ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Thalut ketika melarang pasukannya untuk minum dari sungai kecuali orang yang menciduk air dengan tangannya. Saat itu sedikit dari mereka yang minum. Thalut telah membersihkan pasukannya dari unsur-unsur pelemah yang menjadi titik kekalahan.

Allah telah menyampaikan kepada Rasul-Nya bahwa mundurnya orang-orang munafik di perang Uhud mengandung kebaikan bagi orang-orang mukmin. “Jika mereka berangkat bersama sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas-gegas maju ke muka di celah-celah barisanmu untuk mengadakan kekacauan di antaramu.” (QS. At-Taubah: 47)

Dengan pasukannya Yusya’ berangkat ke kota yang hendak ditaklukkannya. Dia mendekati kota itu pada waktu Ashar di hari yang sama. Ini berarti kesempatan untuk membuka kota itu tidaklah banyak, karena berperang di malam hari tidaklah mudah dan bisa jadi hari itu adalah hari Jum’at. Dia harus menghentikan perang begitu matahari terbenam, karena itu berarti tiba pada hari Sabtu telah tiba dan perang di hari Sabtu hukumnya haram bagi Bani Israil.

Maka dia harus mundur dari kota itu sebelum merebutnya, dan ini berarti memberi peluang kepada penduduk kota untuk memperkuat pasukannya, memperbaiki benteng-bentengnya dan menambah kekuatan senjatanya. Nabi Yusya’ pun menghadap matahari dan berkata kepadanya, “Kamu diperintahkan, aku juga diperintahkan.”

Kemudian Yusya’ berdoa kepada Allah Ta’ala. “Ya Allah, tahanlah ia untuk kami.” Allah mengabulkan permintaannya dan menunda terbenamnya matahari hingga kemenangannya diwujudkan. Iman Yusya’ begitu besar. Dia yakin kehendak Allah di atas segala sesuatu. Dia mampu memanjangkan siang sehingga kemenangan bisa diraih sebelum terbenamnya matahari.

Urusan seperti ini tidak sulit bagi Allah, dan kita mengetahui pada hari ini bahwa siang dan malam terjadi karena berputarnya bumi mengelilingi dirinya. Dan sepertinya perputaran bumi berjalan lambat dengan kodrat Allah hingga kemenangan terwujudkan.

Allah tidak lantas menghalalkan harta rampasan perang bagi umat manapun sebelum kita. Harta rampasan perang dikumpulkan, lalu api turun dari langit dan membakarnya kecuali tidak seorang pun dari pasukan yang menggelapkannya. Jika harta rampasan perang ada yang digelapkan, maka api menolak untuk melahapnya. Ini berarti Allah tidak ridha kepada mereka.

Harta rampasan perang dikumpulkan, api pun turun tetapi tidak memakan apa pun. Maka Nabi Yusya’ berkata, “Di antara kalian ada yang menggelapkan harta rampasan perang.” Untuk membongkarnya Yusya’ menyuruh masing-masing kabilah mengeluarkan satu orang untuk membaiatnya. Maka tangannya menempel lengket di tangan orang yang berasal dari kabilah yang menggelapkan harta rampasan perang.

Nabi Yusya’ membaiat anggota kabilah itu satu per satu. Tangannya lengket dengan tangan dua atau tiga orang, dan Yusya’ berkata, “Penggelapannya ada pada kalian.”

Akhirnya mereka mengeluarkan sebongkah emas besar dalam bentuk kepala sapi dan diletakkan di antara harta rampasan yang lain. Api turun dan memakannya. Hukum ini telah mansukh bagi kita. Harta rampasan perang telah dihalalkan bagi kita sebagai rahmat dari Allah kepada kita dan karunia-Nya. Dan dihalalkannya harta rampasan perang merupakan salah satu kekhususan atas umat ini.

Demikian kisah Nabi Yusya’ sang panglima yang berhasil merebut Tanah Suci. Adapun hikmah dan pelajaran dari kisah ini adalah Nabi Yusya’ tidak mementingkan jumlah besar dalam menghadapi musuh. Beliau lebih memperhatikan kualitas pasukan perangnya. Beliau menyortir tentaranya dari prajurit-prajurit yang hatinya tertambat dengan urusan dunia.(*/Dan)

Loading...