LDR BERISIKO PERSELINGKUHAN, BENARKAH ISLAM MERALARANG?
JAKARTA – LDR (long distance relationship) dalam pernikahan terjadi karena berbagai alasan, seperti studi, tugas pekerjaan, tuntutan ekonomi, hukuman, dan poligami. Studi di luar kota atau luar negeri sering membuat pasangan terpisah, terutama jika beasiswa hanya mencakup kebutuhan pribadi penerima, seperti yang dijelaskan dalam buku Fiqih LDR Suami Istri karya Aini Aryani, LC.
Beberapa kondisi seperti penugasan kerja, khususnya bagi PNS, TNI, Polri, atau pekerja di luar negeri, juga memaksa pasangan hidup berjauhan demi tanggung jawab profesional atau ekonomi.
Namun, LDR membawa risiko besar, seperti perselingkuhan akibat kesepian, kebutuhan biologis yang tak terpenuhi, konflik dalam poligami, hingga perceraian. Tanpa komunikasi yang baik, kejujuran, dan komitmen, hubungan jarak jauh dapat merusak fondasi pernikahan
Dalam ajaran Islam, seorang istri diwajibkan untuk tinggal bersama suami di rumah yang telah ditentukan oleh suaminya. Hal ini merupakan syarat agar istri berhak mendapatkan nafkah. Dalam ilmu fikih, hal ini disebut sebagai tamkin, yang berarti menetap bersama suami. Pendapat ini didukung oleh mayoritas ulama dari mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, dan Al-Hanabilah.
Aini Aryani juga menegaskan bahwa kewajiban suami untuk memberikan nafkah baru berlaku setelah istri mulai tinggal bersama suami, bukan sejak akad nikah dilangsungkan.
Hal ini berdasarkan kisah Rasulullah SAW yang menikahi Aisyah RA tetapi baru mulai memberikan nafkah setelah mereka tinggal bersama. Apabila seorang istri menolak ajakan suami untuk tinggal bersama tanpa alasan yang syar’i, maka hal tersebut dianggap sebagai nusyuz atau pembangkangan, sehingga hak nafkah istri dapat gugur.
Selama kedua belah pihak ridha dan tidak ada unsur pembangkangan, kewajiban suami untuk menafkahi tetap berlaku. Dalam kondisi seperti ini, seorang istri tetap harus menjalankan kewajibannya, seperti menjaga kehormatan diri dan harta suami.
Istri juga wajib meminta izin kepada suami jika hendak bepergian keluar rumah, kecuali untuk kegiatan rutin yang telah diketahui dan disetujui oleh suami.
Selain itu, istri tidak diperkenankan menerima tamu lelaki yang bukan mahram, kecuali atas izin suami. Hal ini bertujuan untuk menjaga kehormatan rumah tangga. Seperti dalam hadits riwayat Bukhari menjelaskan:
لا يَحِل لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sunnah padahal suaminya bersamanya, kecuali jika suaminya mengizinkan. Dan janganlah wanita itu mengizinkan seseorang masuk ke rumahnya kecuali atas izin suaminya juga. (HR. Bukhari Muslim)
Sebagai seorang istri, menjaga amanah suami menjadi kewajiban penting, terutama ketika suami tidak ada di rumah. Amanah tersebut mencakup menjaga harta suami dengan membelanjakannya secara bijak dan tidak berlebihan.
Islam menegaskan bahwa wanita shalihah adalah mereka yang taat kepada Allah, menjaga kehormatan diri, dan menjaga kepercayaan suami dalam berbagai aspek rumah tangga. Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 34:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّه
“Maka wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)”
Prinsip-prinsip ini dirancang untuk menjaga keharmonisan hubungan suami istri, meskipun terpisah jarak, serta memastikan bahwa keduanya tetap menjalankan kewajibannya sesuai ajaran Islam.(*/Tya)