PENYEBAB ADANYA POTENSI PERBEDAAN AWAL RAMADHAN DAN IDUL FITRI DI INDONESIA
JAKARTA – Potensi adanya perbedaan setiap awal Ramadan kerap terjadi. Begitu pun pada awal Ramadan 1445 H/2024 M.
Tahun ini, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menetapkan awal Ramadan 1445 H bertepatan dengan 11 Maret 2024. Sementara itu, awal Ramadan versi pemerintah diprediksikan jatuh pada 12 Maret 2024.
Meski demikian, pemerintah baru akan menetapkan awal Ramadan 1445 H secara resmi melalui sidang isbat yang digelar pada Minggu, 10 Maret 2024. Penentuan akan mengacu pada data hisab (informasi) dan hasil rukyatul hilal (konfirmasi) yang dilakukan tim Kementerian Agama (Kemenag) pada 134 lokasi di seluruh Indonesia.
Lantas, apa yang menyebabkan perbedaan waktu awal Ramadan?
Penyebab Adanya Potensi Perbedaan Awal Ramadan
Peneliti astronomi dan astrofisika di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaluddin menjelaskan potensi perbedaan awal Ramadan setiap tahunnya disebabkan oleh metode yang digunakan sebagai penentuan.
“Kondisi saat ini masih adanya dikotomi antara rukyat dan hisab yang sesungguhnya dalam ilmu astronomi kedudukannya setara,” ujarnya seperti dilansir dari CNN Indonesia, Rabu (6/3/2024).
Pemerintah menggunakan metode imkanur rukyat yang melihat hilal secara langsung. Mengutip buku Sidang Isbat dan Metode Pencarian Hilal karya Pusat Data dan Analisa Tempo, metode ini juga disebut visibilitas hilal.
Ada beberapa kriteria yang harus terpenuhi sebelum melaksanakan visibilitas hilal, seperti ketinggian bulan, jarak bulan dan matahari, ketebalan sabit hilal, umur, dan beda waktu tenggelam antara bulan dan matahari, ditambah batas minimum dua derajat yang harus terpenuhi.
Metode tersebut sesuai dengan Fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penetapan Awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Terlebih, pemerintah telah mengadopsi kriteria dari Menteri Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) sejak 2022, tepatnya pada penentuan awal Ramadan dan Idul Fitri 1444 H.
Sementara itu, PP Muhammadiyah menentukan awal Ramadan dengan metode hisab hakiki wujudul hilal. Diterangkan dalam buku Hukum Islam Berkemajuan untuk Membangun Peradaban oleh Dr Mohammad Hasan Bisyri, wujudul hilal lebih mengarah pada metode akal dan perhitungan jelas.
Wujudul hilal ditentukan melalui perhitungan astronomis. Jadi, metode ini menentukan awal bulan baru tanpa melakukan pemantauan dengan mata telanjang selama memenuhi kriteria tertentu.
Setidaknya ada tiga syarat kriteria yang di maksud, yaitu telah terjadi ijtimak, ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam dan pada saat terbenamnya itu piringan atas bulan berada di atas ufuk.
Semua kriteria tersebut harus terpenuhi untuk menandakan dimulainya bulan baru. Apabila ada satu yang tidak terpenuhi maka belum masuk bulan baru.
Baca juga:
Akses Lantai Dasar Ka’bah Dibatasi untuk Umrah Selama Ramadan 2024
Peneliti astronomi senior di Planetarium Jakarta Widya Sawitar mengatakan bahwa ijtimak adalah momen bertemunya posisi Bulan dan Matahari dalam satu garis edar. Ia menjelaskan, apabila tahap bulan mati atau ijtimak ke arah bulan baru sudah terjadi, maka artinya bulan hijriah baru telah masuk.
“Kalau sudah (terjadi) artinya positif (bulan hijriah baru),” terangnya.(*/Fa)