PULAU EMAS DI BARAT NUSANTARA
Di timur kaya rempah, di barat kaya emas. Sumber-sumber ini mencatat tentang Sumatra yang dijuluki Pulau Emas.
Emas menjadi daya tarik para pendagang datang ke Sumatra. Sehingga, pulau di barat Nusantara itu pun dijuluki Suvarnadvipa atau Pulau Emas. Kekayaan ini juga jadi motif kedatangan orang India ke Asia Tenggara.
Dalam Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII, OW Wolters mencatat pada pengujung abad sebelum Masehi India kehilangan sumber emas Siberia karena perpindahan bangsa barbar melintasi Asia Tengah. Pun pada pertengahan kedua abad pertama Masehi, orang Vespasia menghentikan pengiriman emas bongkahan dari Roma ke India.
Hal itu diperkuat bukti kesusastraan. Karya-karya klasik India mencatat, wilayah Asia Tenggara merupakan sumber emas penting. Misalnya, dongeng-dongeng Jataka melukiskan pelayaran-pelayaran berbahaya ke Suvarnabhumi atau “Negeri Emas”. Kisah Ramayanna juga menyebut nama Suvarnadvipa.
Syair cerita Tamil Pattinappalai, yang kemungkinan disusun pada abad pertama masehi, menceritakan perdagangan antara orang India dengan Kalagam yang sekarang dikenal dengan Kedah.
Namun, menurut Wolters, para ahli sejarah masih meragukan sumber-sumber itu karena tak tahu pasti kapan versi teks itu ditulis, sejak kapan para pelaut memiliki informan tentang negeri-negeri itu, dan sejauh mana para penulis teks-teks itu memahami istilah-istilah geografi yang mereka gunakan.
Kendati begitu, kata Suvarnadwipa dan Suvarnabhumi yang merujuk Pulau Sumatra muncul dalam Prasasti Nalanda di India (860 M), Prasasti Tanjore (1030 M) ketika memberitakan ekspedisi raja Cola ke wilayah Kerajaan Sriwijaya, dan Prasasti Padang Roco (1286 M) yang memuat pengiriman arca Amoghapasalokeswara dari Raja Singhasari Kertanegara ke Melayu Dharmasraya di Sumatra.
Julukan yang mirip dipakai sebagai gelar raja pada abad 14 oleh Adityavarman, raja Minangkabau. Menurut Slamet Muljana dalam Sriwijaya, sang raja mengambil gelar Kanakamedinindra artinya “yang dipertuan di Pulau Emas’. Nama Suwarnadwipa juga digunakan pada Prasasti Pagaruyung.
Sumber Tiongkok juga memuat keterangan negeri penghasil emas. Dalam catatannya, penjelajah I-Tsing memberi nama Chin-chou untuk Sumatra yang artinya Pulau Emas. Penjelajah Tome Pires dalam Suma Oriental menyebut emas datang dari pedalaman Pedir, pelabuhan yang terletak berdekatan dengan Tanjung Pidie. “Rujukan ini dapat mencerminkan kepopuleran Asia Tenggara pada masa lalu sebagai sumber emas yang penting,” tulis Wolters.
Sejarawan Inggris, John Guy dalam “Tamil Merchants and the Hindu-Buddhist Diaspora in Early Southeast Asia”, mencatat bahwa wilayah barat Indonesia, khususnya Sumatra dan Kalimantan menghasilkan endapan dan kerikil bermuatan emas.
“Pedagang India tertarik datang ke Asia Tenggara karena rempah-rempah, hasil hutan, dan logam mulianya, terutama emas. Mereka juga tertarik karena ini membuka jalan untuk berdagang dengan Cina,” tulis John Guy termuat dalam Early interactions between South and Southeast Asia reflections on cross-cultural exchange.
Sumatra termasyur sebagai negeri emas terus berlanjut hingga kekuasaan Kesultanan Aceh. Dannys Lombard dalam Kerajaan Aceh menulis soal banyaknya pandai emas di wilayah kerajaan itu. Mereka juga sangat terampil. Bahkan, Sultan Iskandar Muda menaruh perhatian sangat besar kepada batu permata dan emas dengan mempekerjakan 300 pandai emas.
Dalam Hikayat Aceh, Lombard menemukan keterangan tambang-tambang emas di Kesultanan Aceh. Pengarang menyebut satu per satu lokasinya dengan cara yang terkadang puitis. Misalnya, dalam karya klasik itu disebutkan keberadaan emas merah 24 karat dan belerang dalam tambang yang memberikan hasil tak ada habisnya.
“Semua bahan berharga yang dapat dikuasai Aceh karena kedaulatannya diakui di pedalaman,” tulis Lombard.
Orang Eropa mencoba mengumpulkan keterangan sebanyak mungkin mengenai keberadaan tambang-tambang emas itu. Namun, mereka sama sekali tak dapat mendatanginya.
Dalam catatan Laksamana Prancis, Agustin de Beaulieu yang datang ke Aceh pada 1620, orang Aceh pun tidak bisa mengakses tambang yang berada di bawah kekuasaan seorang raja yang terletak antara wilayah Tiku dan Minangkabau. Mereka hanya bisa mengolah lapisan permukaan tanah yang mengandung emas dalam sebuah aliran yang terbawa hujan. Mereka juga hanya bisa menggali lubang kecil di tempat timbunan longsor. Dari sana adakalanya mereka menemukan gumpalan tanah bermuatan emas yang cukup besar ukurannya.
“Pada umumnya emas itu berbutir dan bergumpal kecil, yang hanya sedikit sekali dijadikan batangan. Kadar emasnya sama seperti écu Prancis, namun tak sebaik dukat Kairo,” jelas Beaulieu.
William Dampier, orang Inggris yang datang ke Aceh pada 1688 mencatat, hanya orang Muslim yang diizinkan pergi ke tambang. Sulit dan sangat berbahaya jika seseorang mencoba melintasi pegunungan yang menuju tambang. Jalannya begitu terjal. Di beberapa tempat bahkan orang terpaksa menggunakan tali untuk naik dan turun. Ditambah lagi, pada kaki gunung ada penjagaan serdadu yang menghalangi orang “kafir” pergi ke tambang. Mereka mengenakan biaya untuk akses ini.
“Hal ini saya dengar dari Kapten Tiler yang tinggal di Aceh dan sangat fasih bicara bahasa negeri itu,” kisah Dampier.
Ketika pesaingan ketat, cerita-cerita horor terkait pencarian emas kemudian disebarkan. Misalnya, soal keberadaan “orang gunung” yang mengancam para pencari emas. Tujuannya agar para pencari emas yang nekat tak meneruskan usahanya.
Meski begitu, ketika Dampier datang, citra negeri emas ini sepertinya mulai agak merosot. Jumlah pandai emas menurun seiring memudarnya kesultanan.
“Dampier sudah tak memuji sedemikian hebatnya. Pandai emasnya kebanyakan orang asing, meski masih ada beberapa orang Aceh yang pandai mengolah logam,” tulis Lombard.(*/Dan)