PERAN TURKI DI PERANG JAWA ANATARA DEMAK DAN MAJAPAHIT
Pada ke 16 Masehi, kepulauan Nusantara telah menjadi pusat perdagangan rempah-rempah di dunia. Bangsa-bangsa Asing dari Eropa dan Timur Tengah telah berinteraksi dengan dengan suku bangsa pribumi.
Selain rempah-rempah, kepulauan Nusantara terkenal dengan penghasil emas. Salah satu kerajaan dengan kekayaan emas terbanyak adalah Majapahit. Orang-orang dari negeri asing begitu takjub dengan kekayaan emas Majapahit. Sebagai buktinya, dalam catatan Tome Pires bertahun 1512 M, Patih Udara dari Daha (Ibukota terakhir Majapahit) mengirimkan seperangkat gamelan dan kain batik pada penguasa Portugis di Malaka.
Konflik politik di Pulau Jawa berujung pada perang antara suku Jawa demi legitimasi kekuasaan kerajaan. Inilah perang saudara sesama suku Jawa paling dasyat karena adanya turut campur dari pihak asing. Perang ini melibatkan Kerajaan Daha di Kediri, yang mengklaim penerus Majapahit padahal merekalah yang menghancurkan Trowulan, Ibukota Majapahit dan memindahkan ke Daha, di wilayah Kediri saat ini.
Di pihak lain ada Demak, kerajaan baru yang dipimpin Raden Fatah, putra Raja Brawijaya , raja terakhir Majapahit yang bertahta di Trowulan tapi dari ibunya berstatus selir dari Campa, Kamboja.
Penyebab Perang
Ranawijaya putra dari Singhawikramawardhana, adipati Daha Kediri menyerang kotaraja Majapahit untuk menggulingkan Brawijaya. Ranawijaya ingin membalaskan dendam ayahnya sekaligus merebut tahta kerajaan yang dulu dimiliki ayahnya. Singhawikramawardhana sendiri sebenarnya adalah Raja Majapahit yang digulingkan oleh Brawijaya lalu diasingkan ke Kediri.
Ranawijaya berhasil, ibukota Majapahit kemudian dipindah ke Daha, Kediri. Keberhasilanya tak terlepas dari dukungan sebagian besar rakyat Majapahit yang tak menyukai perilaku Brawijaya yang gemar mengoleksi wanita sebagai istri dan selir. Kekuasaan Majapahit juga semakin surut karena makin banyaknya daerah-daerah taklukan yang memisahkan diri karena merasa sudah merasa kaya dan mampu setelah mendulang banyak penghasilan dari hubungan dagang dengan bangsa asing.
Aksi Ranawijaya tersebut memancing amarah dari Demak, Raden Fatah adalah putra Raja Brawijaya, dia langsung mengobarkan perang, selain untuk membalaskan dendam ayahnya, juga untuk melegitimasi kekuasaan kerajaanya, Demak, di atas tanah Jawa. Bahwa dirinya adalah keturunan Majapahit yang berhak dan sah atas tahta raja di tanah Jawa.
Interaksi orang Arab, Jawa dan China pada akhir era Majapahit
Peran Bangsa Asing
Mengetahui akan diserbu, Daha kemudian mengirimkan Patih Udara ke Singapura untuk mencari bantuan Portugis. Sebagai tawaran, Daha mengirimkan seperangkat gamelan berbahan emas murni dan kain sutra. Melihat posisi Daha yang tidak strategis karena pusat pemerintaanya berada di pedalaman jawa dan lebih dekat dengan laut selatan, Portugis tidak bersedia membantu.
Demak menjadikan perang ini sebagai Perang Suci layaknya Perang Salib. Mereka menggalang bantuan dari bangsa-bangsa asing terutama Turki demi misi mengislamkan tanah Jawa.
Baca Juga: Jack Churchill Si Rambo Berpanah Di Perang Dunia Ke-2
Turki menyambut antusias, selain alasan agama, perang ini bisa menjamin kelangsungan usaha dagang Turki di Nusantara dalam persaingan dengan bangsa Portugis, Belanda dan Spanyol yang mulai masuk. Kehadiran Turki ini pula yang menyebabkan Portugis di Malaka enggan membantu Daha.
Selain mengirim sejumlah pasukan, dalam catatan Tom Pires disebutkan ada sekitar 300 pasukan Turki dengan senjata pistol. Turki mengajari Demak tentang cara membuat meriam dan mesiu. Alih teknologi menjadikan Demak terkenal sebagai produsen meriam terbaik di Nusantara pada masa itu.
Jalanya Perang
Daha semakin dalam posisi yang terjepit karena Portugis yang diharapkan memilih tidak membantu. Beberapa adipati bekas wilayah Majapahit juga tidak bersedia, terutama adipati Blambangan yang memiliki pasukan terkuat juga tidak bersedia.
Demak berhasil menghimpun pasukan lebih besar dengan senjata meriam yang berukuran besar. Selama dalam perjalanan kampanye perang ke Daha, setiap kadipaten yang dilewati diberi dua pilihan, bersedia tuntuk pada Demak atau luluh lantak karena serbuan.
Perang berlangsung tidak berimbang. Daha tidak memiliki meriam sebanyak Demak. Dibantu pasukan dari Turki yang bersenjatakan pistol dan jumlah meriam yang lebih banyak. Daha akhirnya luluh lantak diterjang pasukan Demak.
Dendam Raden Fatah atas kematian ayahnya terbalas, Daha yang sebelumnya mengklaim penerus Majapahit juga telah rata dengan tanah, tak ada lagi dualisme dalam trah keturunan wangsa Majapahit dan Demak berhak untuk mengaku sebagai penerus satu-satunya yang sah.
Paska Perang
Akibat dari kedahsyatan perang itu, budaya Hindu Majapahit hilang dari tanah Jawa berganti budaya Islam yang dibawa Demak. Uforia kemenangan perang jihad ini membuat semua yang berbau Hindu harus dikubur dan dihilangkan termasuk bangunan monumental seperti candi, makanya sangat sedikit peninggalan Candi dari masa Majapahit yang utuh, ini diiringi dengan semangat keislaman.
Bukan berarti revolusi Islam yang dibawa Demak ini diterima oleh semua orang Jawa. Pada akhirnya nanti, Demak juga akan hancur oleh revolusi Pajang, yang menawarkan perpaduan ajaran Islam dengan budaya Jawa, yang puncaknya pada masa Sultan Agung. Salah satu hasil revolusi ini adalah kalender Jawa, kebudayaan kejawen dan berbagai budaya lainya perpaduan Hindu, Jawa dan Islam.
Mitos Yang Diwariskan
Hancurnya kekuasaan Ranawijaya di Daha yang merupakan wilayah Kediri saat ini, menggenapi kisah-kisah tragis para Raja yang memilih wilayah Kediri sebagai pusat kerajaanya.
Sebelumnya ada Raja Jayakatwang yang digulingkan oleh Raden Wijaya dari Hutan Tarik dan kemudian mendirikan Majapahit di Trowulan. Padahal Jayakatwang adalah cucu dari Kertajaya, Raja Kediri yang bernasib naas.
Raja Kertajaya tewas ditangan Ken Arok, Adipati Tumapel yang kemudian mendirikan Kerajaan Singosari. Keturunan Kertajaya melarikan diri ke Ngurawan, Madiun menyusun kekuatan untuk merebut lagi kekuasaan.
Usaha itu berhasil saat Singosari dipimpin oleh Kertanegara, cucu dari Ken Arok. Adalah Jayakatwang, adipati Madiun dan cucu dari Raja Kediri terakhir yang berhasil menggulingkan Singosari dan mengembalikan Kediri sebagai pusat kerajaan. Saat itu, Jayakatwang mengampuni Raden Wijaya, putra Kertanegara dan memberikanya daerah perdikan di Hutan Tarik.
Nasib sial para Raja yang memilih Kediri sebagai pusat pemerintahan menimbulkan mitos sampai saat ini, bahwa siapapun yang ingin kekuasaanya langgeng sebagai Presiden Indonesia, maka sebaiknya tidak menginjakkan kaki ke Kediri.
Perang Jawa berakhir dengan kekalahan Daha, kerusakan yang ditimbulkan perang ini sangat dahsyat karena adanya alih teknologi yang maju dari Turki. Dalam hal budaya, semangat jihad dan Islam telah merevolusi kebudayaan tanah Jawa setelah perang.(*/Ndo)