SYEKH NAWAWI AL-BANTANI, ALIMNYA ULAMA DI TANAH SUCI MEKKAH
Syekh Nawawi al-Bantani (1813-1897) merupakan salah seorang ulama Nusantara yang karismatik dan berjasa besar. Ia lahir di Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten, Jawa Barat. Banyak hasil karyanya yang menjadi rujukan utama berbagai pesantren di Tanah Air, bahkan luar negeri, dari dahulu hingga masa kini.
Sejak kecil, Nawawi telah diarahkan ayahnya KH Umar bin Arabi untuk menjadi seorang ulama.
Setelah mendidik langsung putranya, Kiai Umar yang sehari-hari bekerja sebagai penghulu Tanara menyerahkan Nawawi kepada KH Sahal. Kiai Sahal adalah seorang ulama terkenal di Banten.
Usai dari Banten, Nawawi muda melanjutkan pendidikannya kepada ulama besar Purwakarta, Kiai Yusuf. Ketika berusia 15 tahun, ia bersama dua orang saudaranya pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji.
Akan tetapi, setelah musim haji usai, Nawawi tidak langsung kembali ke Tanah Air. Dorongan menuntut ilmu menyebabkan ia bertahan di Kota Suci untuk menimba ilmu kepada ulama-ulama besar.
Di kiblat umat Islam sedunia itu, Nawawi belajar kepada Imam Masjid al-Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, dan Syekh Ahmad Dimyati. Guru-gurunya yang lain adalah Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Abdul Hamid Daghestani.
Tiga tahun lamanya ia menggali ilmu dari ulama-ulama Mekkah. Setelah merasa bekal ilmunya cukup, segeralah ia kembali ke tanah air. Ia lalu mengajar di pesantren ayahnya. Namun kondisi Tanah Air agaknya tidak menguntungkan pengembangan ilmunya.
Saat itu, hampir semua ulama Islam mendapat tekanan dari penjajah Belanda. Keadaan itu tidak menyenangkan hati Nawawi. Lagipula, keinginannya menuntut ilmu di negeri yang telah menarik hatinya, begitu berkobar. Akhirnya, kembalilah Syekh Nawawi ke Tanah Suci.
Masyhur di Tanah Suci
Kecerdasan dan ketekunannya mengantarkan ia menjadi salah satu murid yang terpandang di Masjid al-Haram. Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur, Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam Masjid al-Haram dengan panggilan Syekh Nawawi al-Jawi.
Selain menjadi imam Masjid, ia juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia.
Snouck Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungi Mekkah antara tahun 1884-1885 menyebut rutinitas Syekh Nawawi. Setiap hari, sang syekh sejak pukul 07.30 hingga 12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya.
Di antara muridnya yang berasal dari Indonesia adalah KH Kholil Bangkalan, KH Asnawi Kudus, KH Tubagus Bakri, KH Arsyad Thawil dari Banten, dan KH Hasyim Asy’ari dari Jombang.
Mereka inilah yang kemudian hari menjadi ulama-ulama terkenal di Tanah Air. Sejak 15 tahun sebelum wafatannya, Syekh Nawawi masih terus giat dalam menulis buku.
Akibatnya, ia tidak memiliki waktu lagi untuk mengajar. Ia termasuk penulis yang produktif dalam melahirkan kitab-kitab mengenai berbagai persoalan agama. Paling tidak, sebanyak 34 karya Syekh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books karya Yusuf Alias Sarkis.
Beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul. Beberapa karangan yang mu’tabar (diakui secara luas–Red) ialah Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, dan al-Aqdhu Tsamin.
Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Syeib A’li, sebuah kawasan di pinggiran kota Mekkah, pada 25 Syawal 1314 H/1879 M.(*/Tian)