GUSARNYA KARTINI PADA SNOUCK HURGRONJE YANG PURA-PURA ISLAM
Mari kita skip dulu sejenak dari haru biru riuh isu Corona. Ini sudah masuk ke bulan April. Bulan ini juga identik menjadi jadi bulan polemik sosok Kartini. Sebagian pendukung feminisme protes Kartini selalu dijadikan polemik dan kritik atas dipilihnya sosok beliau sebagai citra perempuan Indonesia.
Bukankah wajar saja dan kenyataannya perdebatan seperti itu memangg layak untuk diangkat. Bukan saja soal substansinya, melainkan juga kurang memadainya sumber yang kita pakai untuk melacak tentang Kartini.
Buku ‘Habis Gelap Terbitlah terang terjemahan Armyn Pane tetap menjadi primadona untuk mengenalkan Kartini. Persoalannya, terjemahan ini bersumber dari buku kumpulan surat-surat Kartini yang disusun oleh JH Abendanon, seorang tokoh penyokong politik etis masa kolonial. Suntingan Abendanon adalah suntingan yang bermasalah. Ia secara aktif dan selektif memilah surat-surat mana saja yang harus tampil sehingga tidak memberi pandangan utuh bagi kita tentang Kartini.
Abendanon, misalnya, tidak memuat surat Kartini yang berisi kritik terhadap diskriminasi sosial dan ekonomi yang terjadi saat itu. Padahal surat ini sangat penting untuk menunjukkan sisi kritis Kartini terhadap praktik diskriminasi ekonomi masa itu dan terlebih surat itu ditulis Kartini hanya hitungan bulan sebelum ia wafat.
Alih-alih, dalam masa-masa akhir hayatnya di buku suntingan Abendanon itu malah lebih banyak berisi kisah pribadinya. Abendanon jelas hendak mengonstruksi sisi “drama” kehidupan Kartini. Atau istilahnya membuat semacam ‘roman’ dalam istilah yang dipakai Armyn Pane.
Ada pula surat penting Kartini pada Nyonya Abendanon yang tak dimuat. Yaitu surat yang membicarakan tentang orientalis Snouck Hurgronje. Sungguh menarik sekali isinya. Kartini dalam surat itu menyebut dia secara gusar. Baginya, Hurgronje tak lebih sebagai orang yang berpura-pura masuk Islam agar dapat masuk ke Makkah.
Kartini dalam suratnya menulis begini:
”You will already have heard of him; the man who for the sake of his studies spent a year disguised as an Arab in Mecca and who left that place almost at the cost of his life when it was discovered that he was Christian. As I have heard, he later converted to Islam and married a highly educated daughter of a Penghulu.”
Terjemahannya:
(Anda pasti sudah pernah mendengar tentang dia; pria yang demi studinya menghabiskan satu tahun menyamar sebagai orang Arab di Makkah dan yang meninggalkan tempat itu hampir dengan biaya hidupnya ketika diketahui bahwa dia adalah orang Kristen. Seperti yang telah saya dengar, ia kemudian masuk Islam dan menikahi seorang putri Penghulu yang berpendidikan tinggi. ”
Kartini pada awalnya memang begitu tertarik dengan sosok Hurgronje. Orientalis itu dianggap sosok yang mumpini bagi Kartini untuk bertanya tentang Islam. Belakangan Kartini kecewa dgn orientalis itu. Sosoknya dianggap bertentangan dengan cara pandang Kartini dalam memandang situasi perempuan di Jawa yang dianggap tertindas. (Surat ini pun tak dimuat Abendanon).
Jadi ini hanyalah sebuah ilustrasi, bagaimana suntingan karya dapat mengaburkan pandangan kita tentang Kartini. Ada banyak hal yang hilang dan keliru jika kita tetap menganggap buku Habis Gelap Terbitlah Terang sebagai sumber sejarah yang layak untuk memahami Kartini secara utuh.
Lantas apa yang bisa kita rujuk? Setidaknya kita dapat merujuk pada karya Joost Cote “Kartini The Compelte Writings 1898-1904” yg memuat secara lengkap surat surat Kartini yang terarsip. Buku setebal 900-an halaman ini lebih layak untuk dijadikan bahan penggalian terhadap Kartini.
Sayang sekali justru kita melihat Hari Kartini hanya jadi selebrasi ketimbang penggalian kembali secara jujur pandangan beliau. Tak ada pula upaya dari pemerintah menerjemahkan buku ini secara massal atau dengan subsidi. Jadi jangan salahkan kalau setiap April kritik dan protes masih bermunculan, sebab memang dari sumbernya pun sudah bermasalah sejak awal.(*/Tya)