ASAL MULA AKSARA LAMPUNG
Dari beberapa aksara daerah, umumnya dipengaruhi oleh aksara Dewdatt Deva Nagari, yaitu aksara India kuno yang sering digunakan untuk menulis kitab suci dalam bahasa Sansekerta.
Di Lampung sekitar abad ke IV berdiri sebuah kerajaan bertahtakan emas dan perak, yaitu kerajaan Tulang Bawang yang beragama Budha dan berkuasa di Lampung sampai Sumatera Bagian Selatan. Dari kerajaan itulah berkembang budaya baca tulis dari pedagang atau penyebar agama Budha yang singgah di Lampung.
“Asal usulnya dari aksara Sansekerta dulu, dari huruf palawa. Nah yang mirip Bengkulu, Batak, aksara Rejang Lebong sama Makasar itu mirip bentuknya. Dulu-dulunya di Lampung ini ada kerajaan Tulang Bawang, agamanya Budha. Pengaruh agama Budha itu antara lain terhadap tulisan, tulisan yang dibawa oleh penyebar agama Budha adalah adalah huruf yang disebut Dewdatt Deva Nagari, jadi itu huruf yang dipakai menulis kitab-kitab suci agama Budha,” jelas salah satu budayawan Lampung Marshito.
Kemudian, lanjutnya, setelah dikalahkan oleh Candra Gupta dari India, para bangsawan kerajaan Tulang Bawang mendirikan kerajaan baru di Siguntang Maha Meru, yaitu Sriwijaya dan beberapa lainnya mendirikan kerajaan di Lampung.
“Asal mula Sriwijaya, menurut pak Rozi Arifin, setelah kerajaan Tulang Bawang yang diserang oleh Candra Gupta tadi kalah, kan lari ke bukit Siguntang Maha Meru di Palembang mendirikan kerajaan Sriwijaya, ini kan banyak paham. Tapi kalau mana yang dulu, Sriwijaya apa Tulang Bawang sebenarnya duluan Tulang Bawang. Jadi Lampung ini dibawah pengaruh kerajaan Sriwijaya, karena Sriwijaya kan besar. Tetapi Sriwijaya kan di Palembang, nah Palembang justru tidak mengembangkan aksara,” beber pria kelahiran Karang Anyar itu.
Rumpun Kaganga
Ayah 4 orang anak tersebut mengatakan, huruf-huruf dalam aksara Lampung disebut huruf Basaja atau biasa disebut juga huruf Rencong karena penulisannya yang miring ke kanan, sedangkan tulisan Lampung termasuk rumpun Kaganga.
“Jadi dia huruf tunggal itu sudah punya bunyi, jadi ka, ga, nga, pa dan seterusnya. Sama dengan huruf hanacaraka, satu huruf sudah memiliki bunyi. Nah ini disebut huruf Basaja, Kalau nama tulisan Lampung kan disebut Kaganga,” ucapnya.
Aksara Lampung, terbagi menjadi 3 bagian, yaitu huruf induk atau kelabai surat, anak huruf atau benah surat dan tanda baca. Penulisan aksara Lampung dimulai dari kiri ke kanan, dengan bentuk agak miring. Banyaknya huruf induk atau kelabai surat adalah 20 buah, anak huruf atau benah surat terbagi menjadi 3 bagian berdasarkan letaknya, yaitu diatas huruf induk, disamping huruf induk, dan di bawah huruf induk. Serta tanda baca yang ditulis dengan aksara Lampung.
Huruf induk aksara Lampung yang telah dibakukan pada tahun 1985 adalah ka, ga, nga, pa, ba, ma, ta, da, na, ca, ja, nya, ya, a, la, ra, sa, wa ha, gha. Sedangkan anak hurufnya, untuk diatas huruf induk yaitu Ulan untuk bunyi i dan è, Bicek untuk bunyi e, Bitan untuk bunyi o, Tekelubang untuk bunyi ng, Rejenjung untuk bunyi r, Kananian untuk bunyi n.
Sedangkan anak huruf yang berada disamping huruf induk yaitu Tekelingai untuk bunyi ai, Keleniah untuk bunyi h, Nengon untuk tanda mati. Dan anak huruf yang berada dibawah huruf induk yaitu Bitan di Bah untuk bunyi u, Tekelungau untuk bunyi au, Rejunjung di Bah untuk bunyi r.
Selain huruf induk dan anak huruf, aksara Lampung juga memiliki penulisan sendiri untuk tanda baca, seperti tanda titik yang dilambangkan dengan bulatan kecil dan dinamai taghu, tanda koma, tanda tanya, dan tanda seru.
“Muncul kesadaran tentang pentingnya Bahasa Lampung dipelajari itu kan tahun 1960-an, jadi ada kesepakatan dari para pejabat pemerintah. Ini dari tahun 1971 juga sudah mulai ada pelestarian itu sebagai budaya, ya dulu itu kan semangatnya bagaimana mengejar ketertinggalan, mengentaskan kebodohan jadi sifatnya nasional terus. Sudah baku, itu yang tahun 1985,” kata lulusan Unila ini.
Aturan Penulisan
Ada beberapa aturan dalam penulisan aksara Lampung, menurut buku Membaca dan Menulis Huruf Lampung oleh Muhammad Noeh, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menulis aksara Lampung. Untuk huruf sy ditulis dengan aksara sa, huruf z ditulis dengan aksara sa, huruf kh ditulis dengan aksara ha, dan huruf f ditulis dengan aksara pa. Penulisan huruf kagangan lekuknya tidak tajam, dan ditulis sebagian kasar sebagian halus.
Dalam aksara Lampung, lanjut Marshito, ada beberapa masalah mendasar, yaitu dalam hal pelafalan, penulisan aksara, dan penulisan dalam alfabetnya. Contohnya penggunaan kh dan gh serta ra.
“Sepertinya gak ada kesepakatan ini, gh ini jadi dilingkungan Abung, Tulang Bawang huruf r bisa ditulis dalam aksara lampung ra atau gha jika aksara khusus tidak ada bisa ditulis dengan ra. Misal rabai penulisannya dengan ra tapi pelafalannya bisa khabai bisa ghabai. Untuk di Way Lima, Kedondong, peminggir itu menggunakan kh,” ujarnya.
Menurutnya, harus dibuat sebuah kesepakatan yang dapat memcahkan permasalahan tersebut. Tetapi pembagian suku Lampung sendiri menjadi kendala utama menurutnya.
“Jadi memang ini perlu disepakati antara akademisi dengan praktisi di lapangan. Antara penulisan dan pengucapan, jadi kalau bunyi g itu kan ghin dilambangkan dalam bentuk aksara gha lalu kalau yang ra itu dengan kh. Apa yang diucapkan itulah yang ditulis, ya itu maka ada perbedaan. Di lampung kan multi etnis ya, untuk etnis peminggir kan punya sub etnis lagi contohnya Kalianda dengan Kota Agung dan Talang Padang beda, kalau Kalianda ada akhiran -on kalau Kota Agung dan Talang Padang itu akhiran –ko. Kalau saya belajarnya, rumusnya itu tulisan mengikuti pengucapannya,” jelas pria yang bersuku Jawa tersebut.
Terlepas dari permasalahan tersebut, perkembangan aksara Lampung dilingkungannya sendiri terbilang minim.
“Sebenarnya penggunaan sastra lisan apa itu warahan, pepacogh, pantun itu digunakan, hanya saja penulisannya dalam bentuk latin. Contohnya dalam pemberian adat, kalau mau kawinan, upacara-upacara adat. Tapi yang saya lihat yang orang Lampung asli nulisnya aja pakai latin, nah mungkin kedepan itu salah satu cara agar aksara ini makin dikenal. Jadi karena anak sering melihat jadi gak asing dan bisa memahami,”paparnya.(*/Nan)