Orbiters

KESULTANAN TIDORE, SANG PENGUASA KEPULAUAN REMPAH – REMPAH

visit indonesia

Kesultanan yang berjaya pada abad ke-16 sampai abad ke-18 ini mengantongi masa keemasannya di bawah pemeritahan Sultan Nuku (1738-1805). Lahir dengan nama Muhammad Amiruddin, ia merupakan putra dari Sultan Jamaluddin (1757-1779) yang memerintah Kerajaan Tidore sebelumnya. Ia merupakan sultan ke-30 Kesultanan Tidore yang dinobatkan pada 13 April 1779 dengan gelar Sri Paduka Maha Tuan Sultan Syaedul Jehad Amiruddin Syaifuddin Syah Muhammad El Mabus Kaicil Paparangan Jou Barakati.

&80 x 90 Image

Dengan sikap anti-imperalisnya, ia berjuang selama 25 tahun untuk mempertahankan tanah airnya dari tangan kolonialisme. Dengan jasanya, pengaruh budaya Portugis dan Belanda (VOC) lebih berpusat diluar Kesultanan Ternate dan Tidore, seperti di Maluku Selatan yang menjadi pusat penyebaran agama Katolik dan Protestan, sedangkan agama Islam lebih berkembang di wilayah Kesultanan ini.

Sultan yang telah mengantarkan Kesultanan Tidore mencapai masa kejayaannya ini wafat pada 14 November 1805. Hingga saat ini, makam dari Sultan Nuku sendiri masih terawat dan sudah mengalami pemugaran. Walaupun begitu, bentuk dan bahan batu nisan pemakaman Sultan Nuku masih asli. Kini lokasi makam tersebut termasuk di wilayah Soa Sio. Soa Sio di masa lalu adalah sebuah kawasan Keraton Sultan Tidore, dan masa sekarang adalah ibukota Tidore Kepulauan. Sebuah tempat yang sangat strategis dan bermakna dari kedua masa.

Makam Sultan Nuku pun ternyata tidak sendiri karena ada beberapa makam Sultan lainnya yang turut dimakamkan di sana. Pada awalnya, memang hanya terdapat makam saja. Namun saat pemugaran, juga ditambahkan bangunan pelindung (lengkap dengan tembok, atap dan pagar keliling), sehingga makam Sultan Nuku dan makam lainnya tidak terkena hujan maupun sinar matahari yang berpotensi merusak Cagar Budaya itu sendiri.

????????????????????????????????????

Kerajaan Tidore terletak di sebelah selatan Ternate. Menurut silsilah raja-raja Ternate dan Tidore, Raja Tidore pertama adalah Muhammad Naqil yang naik tahta pada tahun 1081. Baru pada akhir abad ke-14, agama Islam dijadikan agama resmi Kerajaan Tidore oleh Raja Tidore ke-11, Sultan Djamaluddin, yang bersedia masuk Islam berkat dakwah Syekh Mansur dari Arab. Setelah itu, Kerajaan Tidore resmi berdiri menjadi sebuah kesultanan. Kesultanan yang berpusat di Tidore, Maluku Utara ini menguasai sebagian besar Pulau Halmahera selatan, Pulau Buru, Pulau Seram, dan banyak pulau-pulau di pesisir Papua barat. Kesultanan Tidore juga membangun serta mempimpin persekutuan Uli Siwa, yang terdiri dari Makyan, Jailolo atau Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai, dan Papua.

Pada tahun 1521, Sultan Mansur dari Tidore menerima Spanyol sebagai sekutu untuk mengimbangi kekuatan Kesultanan Ternate saingannya yang bersekutu dengan Portugal.Setelah mundurnya Spanyol dari wilayah tersebut pada tahun 1663 karena protes dari pihak Portugal sebagai pelanggaran terhadap Perjanjian Tordesillas 1494, Tidore menjadi salah satu kesultanan paling merdeka di wilayah Maluku. Terutama di bawah kepemimpinan Sultan Saifuddin (memerintah 1657-1689), Tidore berhasil menolak pengusaan VOC terhadap wilayahnya dan tetap menjadi daerah merdeka hingga akhir abad ke-18.

Kemunduran Kerajaan Tidore disebabkan karena diadu domba dengan Kerajaan Ternate yang dilakukan oleh bangsa asing ( Spanyol dan Portugis ) yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Tidore dan Sultan Ternate sadar bahwa mereka telah diadu domba oleh Portugis dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan berhasil mengusir Portugis dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil menaklukkan Ternate dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan terkontrol dalam bentuk organisasi yang kuat.

Meskipun pada akhirnya Kesultanan Ternate dan Tidore bersatu demi meraih kemerdekaan mereka dari bangsa asing, kedua kesultanan tersebut sempat berpisah dan bersaing dalam bidang perdagangan, sehingga memunculkan dua persekutuan dagang.

Dalam dua persekutuan tersebut terdapat pemimpin di dalamnya, diantaranya:

Uli-Lima (persekutuan lima bersaudara) yang diketuai oleh Ternate meliputi Bacan, Seram, Obi, serta Ambon.
Di masa itu, Sultan Baabulah memimpin Kerajaan Ternate hingga mencapai masa keemasan serta kekuasaannya mampu hingga meluas ke negara Filipina.
Uli-Siwa (persekutuan sembilan bersaudara) yang diketuai oleh Tidore meliputi Halmahera, Jailalo hingga ke Papua.
Kerajaan Tidore mencapai puncak keemasan di bawah kepemimpinan Sultan Nuku.
Selain itu, juga terdapat kerajaan islam lainnya yang juga berkembang pada saat itu, yakni Kesultanan Palembang yang didirikan oleh Ki Gedeng Suro, Kerajaan Bima di daerah bagian timur Sumbawa, dengan rajanya La Ka’i, Siak Sri Indrapura yang didirikan oleh Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah.
Dan kerajaan islam kecil lainnya yang masih banyak di Indonesia.

Pulau-pulau di gugusan Provinsi Maluku Utara adalah sumber cengkeh dunia yang melegenda. Pedagang India, Arab, Tiongkok dan Jawa sering berkunjung ke Ternate, Tidore, dan Banda yang menjadi sumber rempah-rempah dunia. Mereka pulang membawa komoditi berharga itu ke negara asal untuk dijual dengan harga tinggi. Cengkeh, bersama-sama dengan pala dan fuli itu begitu berharga sebanding dengan emas kerena digunakan sebagai bumbu makanan dan untuk mengawetkan makanan atau sebagai bahan obat-obatan. Setelah Perang Salib, rute perdagangan ke Timur ditutup Kesultanan Otoman bagi pedagang Eropa sehingga Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda bertekad untuk menemukan sendiri kepulauan yang menjadi sumber rempah-rempah itu.

Vasco da Gama adalah orang pertama yang berlayar ke Tanjung Harapan di Afrika untuk mencapai India. Kemudian, dari India, Portugis akhirnya menemukan rute ke Maluku pada tahun 1521, dan tiba di kepulauan rempah-rempah dimaksud, yaitu: Ternate, Tidore, dan Banda. Untuk sampai di sana, pelaut Portugis berlayar sejauh 14.000 kilometer – hampir 9.000 mil – menyebrangi laut yang belum terpetakan, menghadapi badai, ombak tinggi dan angin muson tropis. Saat kedatangan pedagang Eropa itu, sudah ada kesultanan yang berkembang di Ternate dan Tidore sehingga persaingan perdangan dan upaya monopoli pun terjadi. Pedagang Spanyol, Belanda dan Inggris pun tergiur membentuk armada perang untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah hingga akhirnya dimenangkan oleh Belanda.

Menjelang akhir abad ke-16, Gubernur Jendral Belanda Jan Pieterszoon Coen menanam cengkeh di Ambon dan menghancurkan semua tanaman cengkeh di Ternate dan Tidore secara brutal. Tindakan ini dikenal sebagai ekspedisi hongi dan langsung dilawan oleh Kesultanan Ternate dan Tidore. Berikutnya perlawanan Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore melawan kolonialis pun tercatat dalam banyak halaman sejarah.(*/Dan)

Loading...