KISAH CINTA RORO MENDUT YANG TRAGIS
CERITA tentang kisah sejati dari Jawa Timur yang dipentaskan di pertunjukan ini. Kisah tersebut merupakan legenda Roro Mendut yang berasal dari Kerajaan Mataram pada abad ke-17.
Awalnya, Roro Mendut dirampas oleh panglima Kerajaan Mataram dari Kadipaten Pati. Sultan Agung, pemimpin Kerajaan Mataram saat itu memberikan hasil rampasan perang kepada Tumenggung Wiroguno. Berkat jasanya sebagai panglima perang, ia berhak mendapatkan semua hasil kekayaan termasuk gadis tersebut.
Dari semua kekayaan, Roro Mendutlah yang menarik perhatiannya. Sayangnya, Roro Mendut menolak dijadikan selir oleh panglima itu. Hatinya terpikat kepada seseorang di Kadipaten Pati bernama Pronocitro.
Wiroguno sangat terpukul menerima penolakan tersebut. Apalagi posisinya sebagai panglima perang, ia merasa harga dirinya runtuh. Ia pun memutuskan untuk memberikan hukuman kepada Roro Mendut.
Roro Mendut diharuskan membayar pajak dalam jumlah yang sangat besar. Awalnya ia bingung, tapi ketika berjalan di pasar, ia menemukan cara yang cerdik. Roro Mendut menghisap dan menjual rokok linting di sebuah warung.
Kelihaiannya dalam menjual dan membuat rokok linting membuat dagangan Roro Mendut laku. Itulah yang membuat Roro Mendut selalu berhasil membayar pajak. Apalagi, Roro Mendut selalu merekatkan lem rokok dengan lidahnya sendiri, membuat banyak pria yang mau membeli rokok di Roro Mendut.
Di Pati, Pronocitro terus mencari Roro Mendut. Hingga sampailah ia kepada Kerajaan Mataram, di mana ia melihat Roro Mendut. Pemuda tersebut memutuskan untuk membantu Roro Mendut membayar pajaknya agar ia bisa pulang ke Pati.
Mendengar kabar tersebut, Tumenggung Wiroguno sangat murka. Ia akhirnya menantang Pronocitro untuk bertarung.
Pertarungan berakhir seri, tapi kisah cinta Roro Mendut berakhir tragis. Kekasihnya tewas tertusuk oleh keris Wiroguno. Karena tak kuasa menahan sedih, Roro Mendut mengakhiri hidupnya dengan keris Wiroguno dan mati tergeletak di tubuh sang kekasih.
Sejak saat itu, kisah cinta mereka menjadi abadi. Mereka dianggap sebagai lambang kesetiaan dan keteguhan insan Nusantara kala itu. (*/Nia)