KISAH RAJA ACEH DAN SERIBU PASUKAN GAJAH
Sultan Iskandar Muda merupakan raja Aceh yang terkenal karena di zamannya dari 1607 sampai 1636 Kerajaan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaannya.
Iskandar Muda adalah keturunan dari Raja Darul-Kamal, dan dari pihak leluhur ayah merupakan keturunan dari keluarga Raja Makota Alam. Darul-Kamal dan Makota Alam dahulunya merupakan dua tempat pemukiman bertetangga.
Ibunya bernama Putri Raja Indra Bangsa, adalah anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10.
Ketika Iskanda Muda berumur empat tahun, kakeknya memberinya gajah mas dan kuda mas untuk permainan, dua biri-biri yang dapat bertarung, lalu gasing dan panta (gatok) dari emas atau dari suasa.
Ketika berumur lima tahun, kakeknya memberinya anak gajah bernama Indra Jaya sebagai teman bermain. Umur tujuh tahun, dia sudah berburu gajah liar.
Saat itu, gajah liar diburu bukan untuk dibunuh kemudian diambil gadingnya, tetapi untuk dijinakkan. Setelah jinak, gajah terbaik dan terbesar dijadikan gajah sultan, sedangkan sisanya untuk armada perang.
Dan ketika Iskandar Muda sudah menjadi raja, dia memiliki kemampuan terbaik dalam menjinakkan dan memperlakukan gajah. Gajah pun menjadi tunggangan kebanggaan Sang Sultan. Jika sultan mengendarai gajah, bawahannya harus mengendarai kuda, begitu sebaliknya.
Sejak kecil Iskandar Muda juga sudah diperdengarkan kegemilangan kisah hidup Iskandar Zulkarnain yang juga memiliki tentara bergajah oleh Laksamana Keumala Hayati panglima pasukan inong balee.
Tak heran di kemudian hari Raja Iskandar Muda mempunyai prajurit kavaleri bergajah yang jumlahnya mencapai 1.000 pasukan. Pasukan gajah ini digunakan untuk melengkapi infanteri, pasukan berkuda dan persenjataan artileri meriam yang dimiliki Sultan Iskandar Muda.
Aceh Darussalam pada waktu itu merupakan satu-satunya kerajaan di Nusantara yang memiliki pasukan 1.000 gajah. Gajah-gajah tersebut selain digunakan untuk armada perang juga untuk penyambutan tamu.
Gajah-gajah tersebut juga digunakan Sultan Iskandar Muda untuk membentengi istananya. Ratusan gajah-gajah tersebut dilatih untuk menghancurkan dan berperang sehingga tak takut suara senapan.
Iskandar Muda yang sangat menyayangi binatang ini memberikan nama kepada masing-masing gajah. Dia juga sangat menghormati gajah yang menurutnya paling berani dan paling terlatih.
Bahkan saking sayangnya dia dengan gajah, diceritakan pula ketika gajah-gajah itu berjalan-jalan di luar, dia akan memerintahkan anak buahnya untuk membawakan payung bagi mereka.
Gajah perang biasanya ditempatkan di tengah barisan, tempat mereka dimanfaatkan untuk menahan serangan musuh atau untuk melakukan serangan terhadap pasukan lawan.
Ukurannya yang besar dan penampilannya yang menakutkan menjadikan gajah sebagai kavaleri berat yang cukup berguna. Di luar medan tempur, gajah berguna untuk membawa perlengkapan perang yang berat.
Serangan gajah bisa mencapai kecepatan sekitar 30 km/jam (20 mil/jam). Tidak seperti kavaleri kuda, gajah tidak dapat dihentikan dengan mudah oleh infantri.
Serangan gajah dilakukan murni dengan kekuatan. Gajah menyerang barisan depan musuh dan menginjak-injak prajurit musuh sambil mengayun-ayunkan belalainya. Prajurit yang tak terinjak biasanya akan terlempar. Selain itu, gajah bisa memicu ketakutan pada pasukan yang tidak terbiasa bertempur melawan gajah.
Teror yang disebabkan oleh gajah akan membuat barisan pertahanan musuh menjadi pecah dan buyar. Kuda yang tidak terbiasa dengan bau gajah juga bisa langsung panik jika berhadapan dengan pasukan gajah.
Selain untuk penyerangan, gajah juga menyediakan tempat yang aman dan stabil bagi pemanah untuk menembakkan panahnya di medan pertempuran.
Gajah-gajah tersebut juga digunakan Sultan Iskandar Muda untuk menaklukan beberapa wilayah di Sumatera dan semenanjung Malaya. Bahkan juga pernah digunakan untuk menggempur Portugis di Malaka.
Hingga perang kemerdekaan pasukan bergajah di Aceh masih digunakan oleh pasukan KNIL. Sekarang gambar gajah putih (Gajah Puteh) dijadikan simbol Kodam Iskandar Muda.(*/Dan)