PENGHARAPAN MULIA DIBALIK TUJUH MACAM BUBUR ATAU JENANG
SOLO – Bubur ternyata tidak hanya sebuah kuliner biasa. Dalam masyarakat Jawa, bubur yang juga disebut jenang merupakan makanan yang memiliki banyak doa dan pengharapan mulia.
“Bubur terbagi jadi dua jenis, untuk konsumsi sehari-hari dan untuk keperluan ritual adat,” ujar Murdijati Gardjito (75), Guru Besar dan peneliti pangan di UGM beberapa waktu lalu.
Dalam kebudayaan masyarakat Jawa yang tersebar dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur, bubur atau yang juga disebut jenang untuk keperluan ritual budaya terdapat tujuh macam.
“Karena bahasa Jawa tujuh itu pitu, buat orang Jawa singkatan dari pitulungan, minta permohonan kepada Tuhan, minta pertolongan kepada Tuhan agar hajatnya dikabulkan,” kata Gardjito.
Ketujuh bubur beserta tradisinya tersebut terdiri dari dua corak yaitu bubur merah dan bubur putih, yang mengalami perpaduan. Ketujuh bubur ini adalah:
Bubur putih
Bubur ini hanya memakai garam, santan, dan daun salam. Disajikan kepada masyarakat seusai berkegiatan bersama. Sensasi wangi utamanya dari daun salam dan rasa gurihnya dari santan.
Bubur merah
Bubur merah di sini merupakan bubur yang diberi gula palma, yaitu gula yang terbuat dari tanaman palma seperti kelapa, siwalat, atau yang populer dari aren. Manis dan wanginya aren tentu akan menggoda siapa pun yang menyantapnya.
Jenang slewah dan pliringan
Keduanya merupakan campuran bubur merah dan putih sebelumnya. Bubur slewah sebagian sisinya puth, sebagian lagi merah. Sedangkan bubur pliringan menempatkan bubur putih di tengah bubur merah.
Filosofi dari keduanya ialah sebagai keseimbangan, ada siang ada malam, kadang senang kadang sudah, ada siang ada malam.
“Bubur putih itu simbol dari kekuatan atau simbol dari ayah. Merah simbol ibu atau darah saat melahirkan. Jadi itu mengingatkan kita akan kelahiran ke dunia, dikehandaki oleh Tuhan, melawati kedua orangtua,” kata Murdijati.
Jenang palang
Lalu ada yang bubur yang membentuk palang putih di antara bubur merah, seperti lambang Palang Merah Indonesia (PMI).
“Ini melambangkan hidup itu penuh dengan masalah, jadi supaya disadari, masalah itu untuk diselesaikan bukan untuk dihindari,” kata Guru Besar yang masih aktif menerbitkan buku-buku khasanah kuliner Indonesia ini.
Jenang baro-baro
Jenang atau bubur ini merupakan bubur merah yang di atasnya diberi parutan kelapa dan diberi sisiran atau parutan gula palma yang berwarna kemerahan.
Jenang manggul
Bubur ini berwujud putih, ditaburi kacang-kacangan seperti kedelai hitam goreng, kacang tanah goreng, lalu irisan telur, abon, dan sambal goreng tempe. Bubur ini bisa ditemukan setiap menjelang satu Muharam penanggalan hijriyah.
Mengandung filosofi yang dalam yaitu dari kata “manggul” yang berarti memanggul beban. Mengingatkan kepada anak dalam satu keluarga agar selalu memanggul atau menjunjung tinggi kehormatan orangtua.
“Makanya membawa panggul/manggul itu membawa tapi di atas panggul. Jadi setiap tahun itu ada peringatan, anak itu harus mikul nduwur mendem jero. Artinya menjunjung tinggi dan menjaga keamanan serta kehormatan keluarganya,” kata Murdijati.
Bubur sumsum
Terakhir yang paling populer ialah bubur sumsum yang biasa dikonsumsi sehari-hari. Ternyata bubur ini fungsinya mengembalikan stamina setelah lelah menyelenggarakan hajat atau perayaan adat, seperti pernikahan.
Bubur yang mengandung karbohidrat dan cairan kinca atau gula palma cair itu dibagikan pada semua yang membantu terselenggaranya acara. Sebagai rasa syukur, ucapan terima kasih dan pemulihan tenaga.
Bubur ini juga memiliki nama lain bubur lemu di Solo, sementara nama bubur sumsum lebih terkenal di Yogyakarta dan daerah lainnya.(*/Nia)