KEBERADAAN BATU PETI BERKAITAN DENGAN LEGENDA SANGKURIANG
PURWAKARTA – Tumpukan batu menyerupai benteng mengejutkan warga Desa Kutamanah Kecamatan Sukasari Kabupaten Purwakarta beberapa bulan terakhir ini. Warga setempat meyakini kawasan yang sebelumnya dinamakan Batu Peti itu berkaitan dengan legenda Sangkuriang.
Batu tersebut mulai diketahui setelah warga berinisiatif membersihkan kawasan tersebut dari tanaman semak belukar. “Sengaja dibersihkan itu untuk dikelola jadi objek wisata karena pemandangan (Waduk Jatiluhur) dari sana sangat bagus,” kata warga yang terlibat membersihkan, Kartas (46).
Saat ditemukan, ukurannya jauh lebih besar dari perkiraan warga sebelumnya. Bentuknya tersusun rapi bahkan ada yang membentuk ruangan dan lorong. Karena itu, warga menduga bebatuan tersebut sempat digunakan oleh manusia pada zaman dahulu.
Batu besar itu menyerupai bangunan benteng yang disusun dari lempengan batu pipih. Ketinggiannya ada yang sampai melebihi orang dewasa dan lebarnya berkisar antara setengah hingga dua meter lebih. Sedangkan panjangnya diperkirakan hingga puluhan meter.
Tak lama setelah ditemukan, sekelompok mahasiswa lokal melakukan penggalian di lokasi tersebut. Mereka menemukan uang koin kuno dan benda menyerupai guci yang semakin menguatkan dugaan masyarakat.
Bertapa
Warga memang kerap mendapati pendatang yang mencari lokasi Batu Peti untuk bertapa. Konon, terdapat harta karun peninggalan zaman kerajaan yang terkubur di kawasan tersebut.
“Sampai saat ini belum terbukti. Tapi ada mahasiswa yang sempat menggali tanah menemukan beberapa koin kuno (dengan tulisan) tahun 1920 dan 1945,” kata Kartas. Koin bertuliskan huruf latin dan arab itu kini disimpan oleh tokoh masyarakat setempat.
Mahasiswa tersebut mengatakan kepada warga, telah menghubungi lembaga arkeologi untuk melakukan penelitian di lokasi. Namun, sampai sekarang belum ada tim ahli yang datang ke sana untuk melakukan penelitian.Menurut Peneliti Utama IV/E Balai Arkeologi Jawa Barat Luthfi Yondri, penggalian atau eskavasi di sana tidak boleh dilakukan sembarangan. “Rasanya kalau bukan dari lembaga resmi pemerintah yang bergerak di bidang penelitian dan pelestarian, tidak boleh,” katanya.
Sementara itu, Ketua Badan Usaha Milik Desa Kutamanah, Ahmad Fadil berharap ada tim ahli yang bersedia meneliti dan menjelaskan asal usul batu tersebut. “Terlepas dari hasil buatan manusia ataupun terbentuk secara alami, hasil penelitian itu bisa jadi modal warga untuk mengembangkan sektor pariwisata di sini,” katanya.
Pengembangan pariwisata
Rencananya, Pemerintah Desa Kutamanah melalui BUMDes Tirtabuana akan mengalokasikan dana untuk pengembangan objek pariwisata Batu Peti. Selain itu, mereka juga akan membangun jalan menuju lokasi dari Dana Desa tahun anggaran 2020.
Secara terpisah, ahli dari Masyarakat Geografi Nasional Indonesia T Bachtiar memperkirakan batu tersebut sejenis batu kapur atau kars. Pembentukannya sekitar lima juta hingga 15 juta tahun lalu saat kawasan tersebut masih berupa lautan dangkal.
“Awalnya daerah ini laut dangkal. Binatang koral tumbuh subur di sini. Lalu ada kegiatan gunung api di sekitar Jatiluhur sekarang. Kemudian daerah ini terangkat,” katanya. Bachtiar juga menilai strukturnya yang unik terbentuk secara alamiah.
“Terpengaruh oleh panas, dingin, hujan, lalu melapuk, tumbuhan berkembang biak, tumbuh pohon besar, tertutup bahan lapukan atau tanah. Ketika di atasnya masih lebat oleh tumbuhan, air meresap ke dalam tanah dengan baik melalui akar, lalu melarutkan batu kapur,” tutur Bachtiar.
Gambaran umumnya itu juga berdasarkan temuan batu serupa di wilayah Karawang dan Bogor. Bachtiar mendukung pengelolaan kawasan tersebut menjadi objek wisata.
Asalkan, kawasan itu cukup dibersihkan tidak perlu ditambahkan hiasan lain untuk lokasi berswafoto. Meskipun pandangannya indah, akses jalan menuju lokasi saat ini masih berupa jalan setapak yang cukup curam dan sulit dilalui sepeda motor biasa.(*/Ndo)